Kota Semarang ini sebenarnya hanyalah titik kumpul kami sebelum menuju Dieng untuk rapat 'plus-plus'. Namun naluri 'kebolangan' saya yang tidak terbendung, 'memaksa' saya untuk membeli tiket KA Menoreh Semarang-Jakarta dengan jadwal keberangkatan terakhir.
Dalam rencana, seharusnya saya seharian keliling kota ini. Tapi apalah daya, segala 'susunan acara' nan indah dalam itinerary akhirnya hanya menjadi coretan tak berguna, tatkala tahu Sang Dirut dan rombongan ternyata baru pulang ke Surabaya pukul 11 siang.
Keinginan untuk berangkat pagi-pagi buta, terganjal bualan saya sehari sebelumnya kalau akan dijemput teman di hotel untuk diajak ke rumahnya. Saya pun terpaksa harus menunggu sampai mereka naik taksi menuju Stasiun Tawang, meninggalkan saya yang kebingungan untuk mengatur kembali rute perjalanan. Mencoret beberapa tempat dan menyisakan yang wajib kunjung versi saya. Tempat-tempat mainstream, yang akan memberi label SAH bagi saya sebagai spesies menggemaskan yang sudah mengunjungi Kota Semarang.
Beruntung hotel tempat kami menginap berada tak jauh dari area Simpang Lima. Dan dari informan saya, mas satpam penjaga hotel, angkot-angkot menuju rute yang saya tuju bisa ditemui di situ, walau beberapa harus sambung menyambung menjadi satu lagi dengan angkot lain.
Namun apalah arti angkot, kalau masih ada dua buah kaki yang diciptakan Tuhan untuk berjalan. Jalan Gajah Mada pun mulai kususuri, menuju ke persinggahan pertama; Lawang Sewu. Walau langkah yang awalnya begitu pasti sempat mendadak gontai karena sengatan panas matahari yang ternyata jauh lebih terik dari Kota Bekasi :p
Bangunan peninggalan Belanda yang berada persis di samping Tugu Muda itu tampak gagah saat saya sampai. Tidak ada sedikit pun sisi seram, seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang, bahkan sempat masuk ke acara mistis-mistisan di tivi itu. Entah mungkin karena masih siang atau bagaimana, tapi saya memang tidak melihat adanya 'keanehan' dari gedung ini.
Teman saya bilang kalau Lawang Sewu itu paling bagus dikunjungi malam hari. Seperti ada romantis-romantisnya kata dia. Selain untuk menghindari panasnya Kota Semarang yang amat sangat.
Tapi buat apa segala romansa itu ketika saya hanya berteman ransel dan sebatang tongsis? Ah sudahlah.
Gedung yang pada awalnya merupakan kantor NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij) ini sudah ramai pengunjung saat saya masuk. Pemandangan lumrah ketika berkunjung ke tempat wisata di saat hari libur.
Sebutan Lawang Sewu dari masyarakat setempat memang berdasar. Karena memang begitu banyak pintu dan jendela tinggi lebar (menyerupai pintu) yang terdapat di gedung ini.
'Aura' kantor terasa sekali. Yah namanya juga kantor. Bekas kantor tepatnya.
Di dalam area ini terdapat beberapa gedung yang terpisah. Ada gedung yang khusus dijadikan tempat untuk menceritakan riwayat Lawang Sewu dan proses restorasi yang dilakukan oleh PT KAI sejak 2011. Gedung lain terdapat ruang museum sejarah kereta api, tempat dipamerkannya berbagai artefak, foto, duplikat lokomotif kuno, dan kisah mengenai perkeretaapian Indonesia. Di sisi ruang lain ada jendela dengan mozaik kaca patri warna-warni yang indah, yang bisa memberi kebahagiaan lahir batin para selfieholic nusantara.
Sebuah lokomotif tua di halaman depan, seolah menjadi penanda berubahnya gedung ini menjadi museum kereta api.
Dari sekian ruang, ada beberapa yang tertutup dan tidak boleh dimasuki oleh para pengunjung. Termasuk pintu masuk ke area bawah tanah (tempat syuting acara uji nyali itu), yang sedang dalam proses restorasi. Walau tidak menakutkan, tapi tetap terasa begitu 'dingin' ketika berada di dekat pintu masuk tersebut.
Waktu yang sedikit, memaksa saya harus segera beranjak pergi dari museum, meninggalkan segala isu horor yang menyelimuti gedung bersejarah yang indah ini.
Dengan angkot, saya lalu menuju Komplek Pecinan, yang ternyata ada di belakang hotel tempat kami menginap semalam. Ah pak informan, kenapa tadi tak kau sampaikan soal ini? Kan saya bisa kesini lebih dulu.
Kawasan ini pada masa lalu menjadi pusat perdagangan maupun jasa yang dilakukan oleh kaum Tionghoa.
Ada sembilan kelenteng yang terdapat di sini. Salah satunya adalah Kelenteng Tay Kak Sie yang ada di Gang Lombok. Kelenteng yang katanya tertua di Semarang, serta yang paling besar dan memiliki dewa pelindung yang tertinggi dibandingkan kelenteng lain di Pecinan ini.
Namun yang menjadi daya tarik saya ke kawasan ini sebenarnya adalah Loenpia Gang Lombok, yang ada di samping Kelenteng Tay Kak Sie. Sebuah tempat kuliner legendaris di Kota Semarang, yang kini sudah masuk generasi ketiga yang mengelolanya.
Akan menjadi kurang sahih ketika datang ke kota berjuluk Kota Lumpia, tanpa mencicipi kuliner yang identik dengannya, walau aslinya adalah kuliner khas negeri Mas Wong Fei Hung.
Dan yang namanya kuliner legendaris, dimana-mana pasti akan selalu 'memaksa' para pembeli untuk sabar menunggu. Satu jam saya mengantri di warung mungil ini, demi dua potong lumpia. Tapi, sekali lagi, sesuatu yang legendaris selalu pantas untuk ditunggu dan berkorban waktu. Seperti kamu *eh
Kulit lumpianya terasa lembut, dengan isian yang padat. Paduan rebung muda, udang dan telor terasa pas. Saus, bawang putih dan acar timun yang segar, menambah nikmat, menggelitik lidah.
Kelenteng Tay Kak Sie |
Loenpia Gang Lombok (itu selada saya yang pasang. sok plating gitu :p) |
Setelah makan, kembali saya melanjutkan ke tempat berikutnya, yaitu Kelenteng Sam Poo Kong. Sudah tepat pukul dua siang. Berpacu dengan waktu lagi seperti sebelumnya.
Beruntung kondisi jalanan Semarang tidak sesemrawut Jakarta. Hanya butuh 25 menit untuk sampai ke kelenteng yang adalah sebuah petilasan dari Prof. Yusril Ihza Mahendra* eh maksudnya Laksamana Zheng He (Cheng Ho).
Nuansa Tionghoa sangat terasa sekali di sini. Mulai dari struktur bangunan kelenteng, patung-patung hingga warna bangunan yang didominasi warna merah.
Uniknya, kelenteng ini awalnya merupakan sebuah mesjid, begitu pula sang laksamana yang adalah seorang muslim, namun kini justru menjadi tempat pemujaan/sembahyang para penganut agama Budha, Khonghucu dan Taoisme.
Dan sebagai tempat ibadah, maka para pengunjung tentu diharapkan untuk selalu menjaga sikap agar tidak terlalu alay maksimal, sehingga tidak mengganggu orang-orang yang sedang beribadah.
Ada beberapa bangunan yang ada di Kelenteng Sam Poo Kong. Bangunan utamanya adalah sebuah gua batu yang dulu digunakan Laksamana Cheng Ho sebagai tempat untuk sholat, juga sekaligus tempat sembahyang awaknya yang beragama Budha.
Selain itu ada juga bangunan lain seperti Kelenteng Tho Tee Kong dan tempat pemujaan lain.
Bradley Cooper menunggu Bibi Lung |
Hari yang semakin sore memaksa saya harus segera meninggalkan kelenteng ini, yang masih dipenuhi pengunjung. Kali ini sedikit keluar dari Kota Semarang. Sekitar satu kilometer dari perbatasan antara Kota dan Kabupaten Semarang.
Karena sedikit kesalahan teknis (tidak bertanya ke penumpang atau kondektur bis yang saya tumpangi), membuat saya pun baru sampai ke Vihara Buddhagaya Watugong pukul 5 sore. Terlewat sangat jauh sekali.
Pagoda Avalokitesvara |
Kalau Kelenteng Sam Poo Kong tadi membuat saya seolah berada di China, maka di vihara ini saya merasa seperti sedang di Thailand.
Di sini berdiri Pagoda Avalokitesvara yang menjulang setinggi 45 meter, dengan 7 tingkat, sebagai perlambang tingkatan yang harus di lewati seorang pertapa hingga mencapai kesucian. Di dalam pagoda terdapat Buddha Rupang yang besar. Selain di dalam pagoda, ada pula patung Sang Buddha yang duduk di bawah pohon Bodi, tepat di depan pagoda, dan patung Buddha Tidur berukuran kecil di sisi lainnya.
Sementara itu, pada setiap tingkatnya, mulai dari tingkat kedua hingga keenam, dipasang patung Dewi Kwan Im yang menghadap empat penjuru angin. Dan di tingkat ketujuh, terdapat patung Amitaba. Di bagian puncak pagoda ada Stupa untuk menyimpan relik (butir-butir mutiara) yang keluar dari Sang Buddha.
Cieee gak hoax :p |
Hari sudah mulai gelap saat saya kembali pulang ke Kota Semarang. Namun karena masih ada waktu sekitar satu jam, saya memutuskan untuk keliling sebentar di Kawasan Kota Lama, yang kebetulan Stasiun Tawang termasuk didalamnya.
Hanya saja, tempat yang katanya dijuluki "Little Netherland" ini hanya saya nikmati begitu saja, tanpa mengabadikannya dengan kamera lagi, karena selain sudah malam, hape saya yang canggih luar biasa [:p] pun sudah habis daya baterainya alias mati total. Itu pun saya lebih banyak menghabiskan waktu di sekitar Gereja Blenduk. Kebetulan di dekat area gereja yang sudah berusia lebih dari 200 tahun ini terdapat pusat jajanan, kuliner dan oleh-oleh, juga beberapa cafe, sehingga cukup ramai dibandingkan sisi Kota Lama yang lain. Sayang, rumah makan Sate Kambing 29 di samping gereja yang direkomendasikan teman saya, ternyata tutup di hari Minggu.
Gereja Blenduk pic: www.seputarsemarang.com |
Segelas Wedang Ronde dan guyuran hujan nan deras pun menutup perjalanan saya di Kota Semarang ini, sebelum 'jugijagijuk' pulang ke Jakarta.
Tapi, kuliner-kuliner rekomendasi teman saya di bawah ini sepertinya memaksa saya harus kembali lagi kesini untuk mencicipinya. Tunggu aku mbak! *eh
menggiurkan ya :p |
Tabe!
PS:
*Prof. Yusril Ihza Mahendra pernah main film dan berperan sebagai Laksamana Cheng Ho.
- Jam buka Lawang Sewu: 07.00-21.00 WIB, dengan tiket 10rb (dewasa) dan 5rb (anak/pelajar) *per Januari
- Loenpia Gang Lombok buka setiap hari, pukul 09.00-17.00 WIB.
- Harga tiket masuk Kelenteng Sam Poo Kong: 3rb (hari biasa), 5rb (hari libur, sabtu, minggu) dan 10rb (turis asing) *per Januari
- Angkot ke Vihara Buddhagaya Watugong: Dari Semarang naik bis BRT ke Terminal Banyumanik, lanjut bis kecil ke arah Watugong.
Alamat: Jl. Perintis Kemerdekaan, Semarang, tepat di depan markas Kodim Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar