Senin, 06 Juli 2015

Berpacu dengan Waktu Menuju Gunung Padang

Gapura besar berbentuk batang pohon yang bertuliskan "Situs Megalith Gunung Padang Cianjur", menyambut saya dengan gagahnya.

Senyum saya begitu lebar saat ada aset lelang yang berlokasi di Cianjur. Itu berarti, rencana untuk menyambangi situs yang katanya adalah kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara ini, akan terlaksana juga.

Bunyi alarm yang biasanya terdengar setelah repetisi kesekian kali, pagi itu begitu nyaring di telinga. Semangat berwisata colongan memang punya daya magis tersendiri.
Namun tidak seperti saat ke Kawah Putih Bandung, perjalanan kali ini tidak begitu 'mulus' diawalnya. Bangun pagi-pagi buta ternyata tidak menjamin saya tepat waktu sampai di Stasiun Paledang, Bogor, karena sesungguhnya semua itu adalah kehendak sinyal commuter line. Berjam-jam harus berhenti di setiap stasiun karena gangguan sinyal dan antrian kereta. Berkali-kali terbangun dari mimpi basah yang indah, yang terdengar selalu permintaan maaf dari laki-laki yang entah bagaimana wujudnya. Dan yang lebih menohok jiwa, saat sampai di Stasiun Paledang, KA Pangrango, satu-satunya kereta yang akan membawa saya ke Cianjur, sudah berangkat. Delapan menit yang lalu. Iya, saya TELAT DELAPAN MENIT. Lebih sialnya kereta berikut jadwalnya jam satu siang nanti.

Akhirnya dengan berat hati, walau tetap tersenyum manis, saya terpaksa naik omprengan 'purnawirawan' yang suka ngetem di pinggir jalan menuju pintu tol Bogor, tepat di seberang Terminal Baranangsiang.
Benar memang kata Mak Erot, kalau banyak cara menuju Cianjur. *dikeplak
Walaupun harus berpanas-panasan, sempit-sempitan dengan laki-laki gempal beraroma tempe bacem dan ibu-ibu muda berkacamata besar yang menutupi seluruh area wajah, juga merasakan goncangan keras akibat akselerasi ugal-ugalan si sopir omprengan, toh akan sampai juga ke Cianjur.

* * * * *
Dan setelah sampai, lalu menyelesaikan tugas 'kenegaraan', wisata colongan ke Situs Gunung Padang pun siap untuk diwujudnyatakan. Sayangnya jam di hape saya sudah menunjukkan pukul 12.30, yang berarti saya harus berpacu dengan waktu menuju Gunung Padang, karena sesuai dengan info dari petugas di Stasiun Cianjur kalau jadwal kereta terakhir ke Bogor dari Stasiun Lampegan (stasiun terdekat dengan lokasi situs) adalah pukul 14.35. Dua jam lagi. Itu tandanya saya harus bergegas, biar kejadian ketinggalan kereta saat ke Gunung Parang waktu itu tidak terulang lagi.

Dari Stasiun Cianjur, harus jalan sedikit sekitar 500 meter ke tempat ngetem angkot 43, angkot yang akan membawa saya menuju Gunung Padang. Beruntung pas sampai, ada satu angkot yang sudah penuh dan siap jalan. *rejeki pria soleh
Melewati jalan raya Cianjur-Sukabumi, lalu berbelok di pertigaan kecil menuju Warungkondang, kiri kanan kulihat saja banyak sawah terhampar. Udaranya pun makin sejuk.

Tidak seperti informasi yang saya dapat dari internet, angkot 43 ini terakhir sampai ke daerah Bedahan. Dari sana baru dilanjutkan dengan ojek menuju Gunung Padang, dengan ongkos sebesar 35.000 rupiah, setelah proses tawar menawar dan negosiasi yang cukup alot.
Tapi ongkos sebesar itu bukanlah karena skill menawar saya yang mumpuni, tapi karena sudah mendapatkan bisikan gaib dari sopir angkot yang saya naiki sebelumnya. Walaupun setelah sampai Gunung Padang dan menyadari jaraknya yang ternyata lumayan jauh, sepertinya menurut saya terlalu murah ongkos ojek itu. Ingin rasanya menambah 20-30 ribu lagi buat si tukang ojek, tapi sayangnya saya bukanlah laki-laki yang semulia itu saudara-saudara.

Perjalanan dengan ojek menuju Gunung Padang ini sangat menyenangkan. Udaranya sejuk. Pohon-pohonnya hijau. Hamparan perkebunan teh di sepanjang 7 KM jalan sebelum Gunung Padang, begitu indah dipandang mata. Merelaksasi hati dan pikiran. Seolah disentuh tangan lembut mbak-mbak ayu di panti pijat plus-plus.

Tak lama, saat mulai memasuki dusun tempat Situs Gunung Padang berada, gapura besar berbentuk batang pohon yang bertuliskan "Situs Megalith Gunung Padang Cianjur", menyambut saya dengan gagahnya. Sedikit senyum simpul tersungging di bibir. Akhirnya rasa penasaran selama ini akan terbayar sebentar lagi.


Setelah sampai, lalu membayar si tukang ojek dengan segepok uang, sambil menolak tawarannya yang mau menunggu saya pulang. Saya lupa, sebenarnya harus buru-buru karena memang sedang berpacu dengan waktu menuju Gunung Padang ini. Mungkin karena terlalu excited.

Sehabis membeli tiket, langsung menuju ke atas. Ada dua jalur tangga untuk naik. Yang satu adalah tangga batu yang asli dari situs ini dan lebih curam, dengan jarak per tangga yang pendek, sementara jalur yang satunya baru dibuat dari beton, untuk memudahkan para pengunjung menuju ke atas.
Saya memilih naik melalui jalur asli dari situs, yang akhirnya menyadarkan saya akan faktor usia, karena saat sampai di atas, lutut terasa mau copot, jantung berdetak cepat, dada berdebar-debar, mata berkunang-kunang, napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran. Mencapai ketinggian 885 mdpl, dengan jalur yang curam, ternyata tidak semudah push up 50 kali di siang bolong seperti yang sering saya lakukan.
Dan ketika teringat kembali semangat membara waktu mendaki Gunung Gede akhir 2008 silam, tanpa merasakan kelelahan yang amat sangat, di situ saya merasa sedih.



Setelah mengambil napas sebentar, barulah mulai mengeksplorasi tempat ini. Sekilas memang terlihat biasa saja, hanya sekumpulan bongkahan batu-batu andesit besar berbentuk persegi yang bertebaran di areal seluas 3 hektar. Untung bukan batu bacan, solar aceh atau yang lainnya. Bisa kaya mendadak dengan bongkahan sebanyak itu. Tapi jika diperhatikan lebih seksama dengan waktu yang sebanyak-banyaknya lagi, bongkahan batu-batu ini sebenarnya membentuk pola-pola ruangan dari sebuah bangunan yang 'mungkin' pernah ada dahulu kala.


Ini adalah penemuan yang sangat luar biasa, yang menyingkap sebuah warisan budaya dari peradaban nusantara zaman baheula. Berdasarkan penelitian, 'bangunan' di Gunung Padang yang terlihat seperti piramida di Mesir ini, diperkirakan umurnya jauh lebih tua dari piramida Mesir tersebut, sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi.

Situs Gunung Padang ini pertama kali ditemukan pada tahun 1914 oleh arkeolog Belanda, N.J. Krom. Dan dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 1982 sampai sekarang, ditemukan kalau struktur bangunan di sini terdiri atas lima teras/undakan, yang memanjang dari utara ke selatan, dan susunan batu berupa teras batu (terasering) di sisi timur dan barat sebanyak 100 tingkat, sehingga diperkirakan luas bangunan seluruhnya dapat mencapai minimal 25 hektar. Selain itu, diperkirakan bahwa di bawah permukaan bangunan ini juga memiliki chamber dan bentuk-bentuk struktur lain (goa/lorong).

'Karya-karya' masyarakat zaman baheula memang selalu mengundang decak kagum. Bagaimana mereka dengan segala kekurangan teknologi, tidak seperti saat sekarang, tapi bisa menciptakan karya arsitekturial yang begitu luar biasa.




Orang-orang setempat menyebut lima undakan di situs ini sebagai Tahap Kasenian, Kadunyaan, Katapakan, Kadugalan dan Kangkatan. Situs Gunung Padang ini juga diperkirakan merupakan tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana pada sekitar 200 tahun SM. Bahkan sampai sekarang pun masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.
Menurut legenda, situs ini merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Hal itu (sebagai tempat pemujaan), yang menurut hasil penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir kemungkinan melibatkan musik, diperkuat dengan ditemukannya batuan yang bisa mengeluarkan bunyi layaknya gamelan saat dipukul.

Batu Gamelan
Selain itu juga ditemukan tanda-tanda berbentuk gambar atau cekungan buatan manusia pada setiap batu yang berada di teras 1 s.d. 5, yang memiliki makna masing-masing.

Batu dg cekungan berbentuk kujang & tapak macan
Tempat ini (Situs Gunung Padang) sebelumnya telah dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, Raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam menggunakan Lego.
Sambil duduk di atas satu bongkahan batu, saya membayangkan bagaimana indahnya istana itu. Pemandangan lembah yang mengelilinginya, yang begitu asri, pasti akan sangat indah dinikmati di pagi hari, di saat sang fajar mulai menampakkan binar-binar cahaya jingga keemasan di sela-sela pepohonan. Sambil menyeruput secangkir kopi, ditemani permaisuri cantik berlesung pipi, yang menawarkan sepiring onde-onde dengan senyum manis. Sempurna!


*biar gak dibilang hoax :p
Tapi, tiba-tiba disadarkan oleh tepukan seseorang di bahu saya. Saat menoleh ke belakang, terlihat sosok berbaju hitam, yang sekilas seperti Raisa dengan balutan gaun hitam nan anggun dengan senyum terkembang. Namun langsung buyar, setelah saya lihat potongan rambutnya yang begitu pendek dengan ikat kepala khas Sunda terlilit, dan jakun yang menyembul dilehernya.
"Si akang juga rombongannya ibu-ibu itu?", tanyanya dengan sopan, sambil menunjuk ke arah ibu-ibu berjilbab yang sedang berfoto bersama.
Suara berat yang akhirnya benar-benar menyadarkan saya sepenuhnya. Dan dengan refleks tingkat dewa penipu, saya pun mengangguk sambil menyunggingkan senyum semanis mungkin. Saya memang tidak semulia itu saudara-saudara.

Setelah laki-laki separuh baya (yang ternyata adalah pemandu di situs Gunung Padang) itu berlalu, saya langsung beranjak turun untuk pulang, karena jam di hape saya sudah menunjukkan pukul 15.15, dan (yang lebih penting) sebelum kebohongan saya ketahuan dan dikutuk jadi batu akik sama mereka.

Sebelum pulang ke Cianjur (lalu ke Jakarta), saya mampir dulu ke Stasiun Lampegan (dengan 2 kali menumpang mobil pick-up & truk). Bukan untuk naik kereta, karena sudah tidak ada lagi, tapi untuk foto :D
Gagal lagi seperti saat ke Gunung Parang. Berpacu dengan waktu memang sangat sulit untuk dimenangi. Tidak semudah berpacu dalam melodi.

wujud tumpangan channing tatum
Terowongan di dekat Stasiun Lampegan
Saat deru commuter line Bogor-Jakarta kembali membawa saya ke istana 3x4 meter tercinta, senyum manis tersungging lagi karena rasa penasaran saya akhirnya terbayar sudah. Mudah-mudahan proses penelitian lanjutan dan pemugaran kedepannya bisa segera selesai, sehingga saya bisa kesana lagi dan melihat 'wujud' bangunan situs yang sebenarnya.



Tabe!


PS :
- Harga tiket masuk terakhir : Rp 4.000,-
- Kalau ada yang kesana, nanti pakai pemandu ya, cuma bayar 35ribuan (seikhlasnya) kok. Jangan ikutin laki-laki begajulan penipu ini. Nanti masuk neraka :D
- Referensi : wikipedia.
- Semua foto hasil jepretan sendiri dengan kamera HP Samsung Galaxy Grand GT-I9082 #disclaimer