Sabtu, 10 Januari 2015

Walau kecil, asal berbuat


Akhir Desember lalu, saya mendapat email ucapan selamat dan terimakasih dari tim Change.org Indonesia, karena telah ikut menandatangani beberapa petisi yang mereka buat (dan sebagiannya berhasil).

Entah orang lain, tapi saya sangat senang dan bangga dengan itu.

Mungkin terlihat remeh karena hanya sekedar meng-klik satu petisi yang sudah ada itu, sambil duduk-duduk manis. Tidak ada tenaga yang dibuang, tidak ada keringat yang bercucuran, tidak ada teriakan lantang, juga tidak ada air mata yang mengalir.
Tapi dengan satu tandatangan dalam sekali klik itu, saya dan ribuan lain yang ikut menandatanganinya bisa ikut menyebar petisinya Glenn Fredly dan relawan #SaveAru untuk lindungi 600 ribu hektar lebih hutan Kepulauan Aru dan satwa-satwa endemiknya.
Ikut membantu mbak Anis Hidayah membebaskan Wilfrida, gadis belia asal NTT dari hukuman mati.
Ikut mendukung Yosef Rabindanata untuk menghentikan pameran rokok di Bali yang dapat berdampak pada anak di bawah umur, petisi mbak Anita Wahid untuk tunda pembahasan RUU KUHP/KUHAP yang isinya dapat melemahkan KPK, dan Cik Manan untuk ajak Jokowi #BlusukanAsap ke desanya (Sungai Tohor) di Riau, juga petisi-petisi lainnya.

Walau gaung dan signifikansinya sangat kecil, bahkan berhasilnya petisi itu juga tidak serta merta menyelesaikan masalah, tapi toh ada secuil perubahan yang dihasilkannya. Setidaknya perjuangan dan suara kami didengar. Bukankah itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

Jadi, mengikuti ajakan dari tim change di email, "ayo kita rame-rame bersuara, dan memulai perubahan. Bagaimanapun caranya".

Dan kalau kawan-kawan tidak tau harus melakukan apa untuk memulai perubahan itu, mungkin apa yang saya dan kawan-kawan lain lakukan dengan menandatangani petisi-petisi di change.org ini bisa diikuti. Atau bisa juga memulai petisi kamu sendiri.
Apalagi semua isu yang diangkat disini juga selalu lengkap dijelaskan dengan latar belakang kenapa petisi itu dibuat dan seberapa pentingkah hal itu, jadi kalau merasa tidak sreg ya tidak usah ikut tandatangan, toh ini sifatnya sukarela. Saya pun selektif kok saat melakukannya, jadi tidak asal tandatangan saja semua petisi yang ada :)

Infografis di bawah ini mungkin bisa membantu untuk sekedar tahu bagaimana hasil 'kerja' dari sesuatu yang 'remeh' ini :



Tabe!


*ilustrasi gambar dari sini.

Rabu, 07 Januari 2015

Menunggu di Kota Sukabumi

Hampir semua orang tidak pernah menyukai yang namanya menunggu. Membosankan, menjemukan, mengesalkan, membangkitkan emosi jiwa dan dendam kesumat, dan lain-lain. Tidak ada hal yang menyenangkan saat sedang menunggu. Apalagi saat menanti jawaban yang tak pasti dari gadis pujaan hati putri paman petani. Tidak hanya terasa bosan tapi juga perih menusuk hati, menohok jiwa.

Nah karena sudah terlanjur larut dalam keadaan dan 'label' membosankan saat menunggu tadi, banyak yang tidak menyadari kalau menunggu itu secara tidak langsung memberikan sedikit waktu luang bagi kita. Membaca buku, bermain game, isi TTS, menelepon kerabat, gebetan, selingkuhan, dll. Banyak yang bisa dilakukan.

Seperti saat di Sukabumi misalnya. Menunggu kereta api dari jam 11 siang, sementara jadwal kedatangan yang tertera di tiket itu jam 4 sore (belum 'delay'nya), pasti rasa bosan, jemu, dan sebagainya itu akan sangat terasa sekali kalau hanya dihabiskan di dalam ruang tunggu stasiun.
Kenapa tidak jalan sebentar keluar ke Jl. Ahmad Yani yang tak jauh dari stasiun. Siang yang panas, alangkah bagusnya menikmati yang segar-segar. Es Campur di gang Nugraha, bisa jadi salah satu alternatif yang bagus. Variasi isiannya sedikit berbeda dengan es campur pada umumnya, yaitu a.l. kacang hijau, pacar cina, irisan roti, nata de coco, serta buah-buahan seperti kelapa, blewah, dan alpukat. Semua isian tersebut dipadu dengan serutan es yang banyak dan kemudian ditambahkan dengan susu coklat kental manis dan creamer sebagai pemanisnya. Perpaduan itu menjadikan es campur ini terasa segar di tenggorokan, nikmat di lidah, dan manis di bibir memutar kata.

Es campur segar di Gang Nugraha Sukabumi

Maju sedikit lagi, beberapa ratus meter dari Gang Nugraha, tak jauh dari KCP Bank Mandiri, ada Warung Nasi dan Lotek "Ibu Cucu". Di warung yang berada di kompleks bekas Bioskop Indra ini, kita bisa merasakan sensasi kondangan (tapi bukan nikahan mantan), dengan hidangan makanan prasmanan yang tersedia lebih dari 200 menu disana. Sesuai dengan yang tertulis di spanduk besar di depannya, warung ini mengklaim merupakan warung dengan masakan Sunda terlengkap di Sukabumi. Di sana ada menu-menu seperti empal raksasa, aneka sop/soto dan aneka makanan siap saji.
Karena sistemnya prasmanan, jadi pembeli mengambil makanannya sendiri. Tinggal dikira-kira saja saat ambil lauknya, karena ada beberapa lauk yang sepertinya menurut saya terlalu mahal harganya. Apalagi rasanya juga tidak terlalu spesial. :D

Warung nasi & lotek "Ibu Cucu"_Sukabumi

Setelah kenyang di Warung Ibu Cucu, bagusnya cari yang manis-manis untuk dessert.
Masih di jalan yang sama, walau agak jauh, tepat di seberang kantor cabang Bank Mandiri Sukabumi, ada Toserba Tiara dimana di salah satu sudut halamannya ada Piscok Cakra. Tagline piscok ini adalah cokelatnya meledak di mulut. Tapi bukan karena ada kandungan bubuk mesiu dan potasium didalamnya, melainkan karena isian coklat cairnya yang lumayan banyak untuk setiap gulungan piscoknya. Manisnya coklat cair tersebut berpadu sempurna dengan pisang yang tingkat kematangannya pas dan gurihnya parutan keju. Maknyos!

Pisang_Coklat_Enak_Sukabumi

Menurut seorang filsuf dari Bojong Koneng, apabila diawali dengan yang segar-segar maka tutuplah dengan yang segar-segar pula. Nah di Jl. Sudirman, di sudut trotoar dekat dengan SPBU, ada warung es kelapa yang bisa jadi pilihan. Warung ini selalu ramai didatangi, baik untuk menikmati di tempat atau dibungkus untuk dibawa pulang.
Seperti es kelapa pada umumnya, disini juga disajikan di dalam gelas. Campuran air kelapa, air larutan gula merah, creamer kental manis dan es batu, terasa begitu menyegarkan. Manisnya pas. Pas pula untuk mengakhiri waktu menunggu di Sukabumi ini.

Es_Kelapa_Segar_Sukabumi

Yang pasti, dengan begitu saat kereta api datang kita akan menaikinya dengan senyum puas tanpa cemberut dan wajah yang ditekuk-tekuk, karena bete tingkat tinggi.
Tak selamanya mendung itu kelabu. Tak selamanya pula menunggu itu membosankan. It's depends on you!


Tabe!

Jumat, 02 Januari 2015

Mencari Pegal di Surabaya

Karena urusan yang hanya sebentar, saya pun memutuskan untuk pulang pergi saja sehari saat melakukan perjalanan ke Surabaya awal Desember 2014 lalu.
Dari awal memang sudah kebayang 'perjuangannya', mengingat jadwal pulang besoknya dari Surabaya adalah pukul 12.00 siang. Itu berarti saya hanya punya waktu disana sekitar 6 jam saja.

-------------

Tepat pukul 14.10 (sesuai jadwal di tiket) KA Kertajaya yang saya naiki mulai berangkat perlahan meninggalkan  Stasiun Pasar Senen. Walau tiket yang saya beli itu kelas ekonomi yang paling ekonomis, tapi nyaman sekali ternyata. AC-nya sangat dingin. Entah benaran dingin, atau karena adanya persis di atas kepala saya. Ditambah lagi diluar turun hujan.
Di depan saya duduk dua orang wanita yang sudah berumur, tapi masih ada sisa-sisa ke-unyu-an masa muda, karena selalu ajak ngobrol sambil ketawa-ketawa.

Ibu-ibu unyu di atas kereta

Pemandangan tidak mengenakan seperti beberapa tahun lalu sudah tidak terlihat lagi. Kenyamanan inilah yang akhirnya menjadi topik pembicaraan saya dengan 'teman-teman' sebangku selama perjalanan, sampai akhirnya satu per satu mulai terbuai dengan mimpi indah masing-masing. Tepar. Kami lelah.

Perubahan positif ini juga berimbas pada jadwal tibanya kereta di Stasiun Pasar Turi Surabaya. Kami hanya lebih lama 8 menit (00.53) dari yang seharusnya. Kaget juga, karena saya memperkirakan tiba pas subuh. Alhasil, terpaksa memutuskan untuk tidur beberapa jam di stasiun.

Nongkrong di stasiun_baca buku

Untungnya banyak juga yang seperti saya, menunggu datangnya pagi di stasiun (kayak judul FTV), jadi tidak merasa diri bagai binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang gitu.

Sekitar setengah 4 pagi, dibangunkan oleh lalu lalang para penumpang yang baru turun dari KA Argo Gumarang. Dan karena lantai stasiun itu tidak senyaman rumput-rumput yang ditiduri Syahrini di Italia, punggung pun mulai terasa pegal, saya memutuskan menuju salah satu 'tempat tongkrongan' di depan stasiun, sekedar untuk menikmati segelas kopi dan gratis wifi.
Baru pukul 05.00 pagi, saya mulai melangkahkan kaki keluar dari area stasiun, sambil mengabaikan suara para laki-laki penggoda yang menawarkan ojek, becak dan taksi.

Suasana pagi di Surabaya ternyata masih sangat 'manusiawi' dibandingkan Jakarta. Masih terasa seperti pagi yang sebenarnya. Udaranya adem, belum ada hiruk pikuk warga dan masih sedikit kendaraan yang lalu lalang.
Berjalan kaki menikmati sesuatu yang langka seperti ini memang wajib dilakukan. Terlihat beberapa orang, yang sialnya laki-laki semua, sedang lari-lari santai di beberapa ruas jalan (di trotoar. kalo di tengah jalan bisa mati ketabrak).

Suasana Surabaya di pagi hari

Bagian depan Tugu Pahlawan Surabaya_Patung Soekarno-Hatta

Sunrise di Tugu Pahlawan Surabaya

Gereja katholik tua di Surabaya

Sialnya, karena saat sampai masih terlalu pagi, tempat yang saya tuju masih tutup semua. Bolak-balik, nongkrong sampai ngantuk, ternyata baru buka setengah 10. Itu berarti saya hanya punya 2 jam lagi karena harus pulang lagi ke Jakarta nanti pukul 12.00. Apalagi mengingat jam berangkatnya kemarin yang tepat waktu, sepertinya tidak boleh terlambat semenit pun.

Urusannya jadi sedikit kurang maksimal karena terburu-buru. Ditambah lagi udara Surabaya yang mulai tidak bersahabat seperti pagi tadi. Panasnya bikin pusing kepala.

-----------------

Satu hari pulang pergi Jakarta - Surabaya dengan kereta kelas ekonomi paling ekonomis itu ternyata sangat melelahkan. Walau perjalanannya cukup nyaman, tapi posisi bangku yang kemiringannya cuma 70-80 derajat itu benar-benar mau mematahkan tulang belakang. Remuk redam tak terkira.
Coba kalau pas pulang, buka pintu kosan, ada yang sudah menanti dengan senyum manis dan seember air hangat buat mandi.
Ah sudahlah !



Tabe!