Sabtu, 31 Desember 2016

Kedai Kopi Phoenam

Riuh pengunjung dengan logat Makasar yang kental langsung 'menyambut' saya saat memasuki kedai kopi ini. Perbincangan nan hangat yang diiringi gelak tawa.
Seperti arti kata Phoenam yang tertulis di poster didepannya, kedai kopi ini seolah menjadi terminal atau tempat transit bagi orang-orang Makasar di Jakarta untuk berinteraksi sembari melepas lelah dan 'menjauh' dari rutinitas.


Saya memilih tempat duduk di dekat dapur. Melempar senyum kepada orang-orang di meja depan yang menatap heran kepada saya. Mungkin heran karena saya datang sendirian. Atau karena wajah saya terlalu Arab KW, yang sangat tidak mungkin untuk dipanggil Daeng, apalagi Honey.

Di dapur, mas barista sedang sibuk menyaring kopi yang ada di teko aluminium. Kedai ini memang masih menyajikan kopinya secara manual. Hal yang lazim ditemui di kedai kopi tua.
Kedai Kopi Phoenam ini memang sudah berdiri sejak tahun 1946 di kota Makasar. Didirikan oleh Liong Thay Hiong. *begitu yang tertulis di poster


Segelas kopi susu yang penuh busa diatasnya pun tidak lama hadir di hadapan saya. Bagi yang pernah minum teh tarik, pasti familiar dengan tampilan dari kopi susu ini, karena sama seperti minuman ala Melayu itu. Mungkin karena cara pembuatannya yang sama.
Kopi Susu Special  yang penuh busa ini memang salah satu signature drink dari Kedai Kopi Phoenam.

Untuk menemani laki-laki tampan ini ngopi asoy, saya memilih Roti Panggang Kaya Mentega Keju Telor Corned. Menu 'rame' yang harus dinikmati dengan pelan tapi pasti. Alon-alon asal kelakon. Tidak bisa dijejali sekaligus ke mulut (walau sudah dipotong-potong). Kecuali anda seorang Sasha Grey 😛 *tapi rotinya agak mahal sih bagi si kere ini. hehehe

Kopi Susu Special
Roti Panggang Kaya Mentega Keju Telor Corned
Cabang Kedai Kopi Phoenam di Jakarta ini ada di Jl. Wahid Hasyim No. 65. Di lantai dua gedung yang saya tidak tahu namanya (karena tidak ketemu plang-nya), yang diapit oleh Gereja Bethel Indonesia dan Restoran Bakmi Toko Tiga.

Namun kata kasirnya akan pindah lagi ke Gondangdia, karena kontrak di gedung tanpa nama itu akan habis.


Tabe!

Selasa, 13 Desember 2016

Warung Kopi Purnama: Legenda Kota Kembang

Bandung sedang terik-teriknya saat saya sampai di Jl. Alkateri. Jalan sempit yang berada tepat di samping Hotel Golden Flower itu seolah menampilkan masa lalu Bandung. Bangunan-bangunan tua dari zaman kolonial masih berdiri apa adanya, tanpa terpengaruh geliat modernitas. Renovasi hanya sekadar pengecatan ulang dan penambalan tembok yang terkelupas, tanpa mengganti arsitektur aslinya.

Di tengah hiruk pikuk toko karpet dan gordyn itulah Warung Kopi Purnama berada. Bertahan menyajikan kopi untuk para pelanggan setianya, sejak delapan dasawarsa silam. Tak lekang oleh waktu.


Walau kini sudah 'ditasbihkan' menjadi icon heritage, otentik sebagai kedai kopi legendaris 'milik' kota Bandung, awal didirikannya kedai kopi ini adalah di kota Medan. Oleh pemiliknya; Yong A Thong, diberi nama "Chang Chong Se" (silahkan mencoba!), yang kemudian di tahun 1966 dirubah menjadi "Purnama", seiring dengan kebijakan pemerintah Indonesia kala itu yang melarang penggunaan nama-nama asing.

* * *
Kedai kopi tua itu selalu membuat jatuh cinta. Selalu hening, sederhana dan penuh nostalgia. Jauh dari keriuhan dan hiruk pikuk ala pemuda-pemudi masa kini.

Begitu pula Warung Kopi Purnama ini. Interior sederhana sejak tahun 1930 lalu, dengan kursi kayu jati dan meja marmer yang tersusun rapi, sungguh memesona. Foto-foto kota Bandung masa lalu, foto generasi pendiri warung, poster lawas, juga kliping liputan media, tergantung apik di sekeliling dinding.
Jendela besar dengan teralis kayu yang mengapit pintu, memberi 'rasa' Melayu pada kedainya. Sentuhan kekinian hanya diwakili dengan ketersediaan jaringan wi-fi.


Saya memilih duduk di meja dekat jendela. Walau ruang depan ini merupakan "smoking area", tapi suasana kedai siang itu yang tidak sebegitu ramai, juga kondisi langit-langit yang cukup tinggi, membuat ruangan itu tidak pengap akan asap rokok.

'Pemandangan tak biasa' namun selalu menyenangkan ketika berkunjung ke kedai kopi tua adalah interaksi antara manusianya. Gadget menjadi hal kedua. Terpinggirkan. Semua orang sibuk bercengkerama satu sama lain. Bertatap muka dengan rekannya, sambil membicarakan banyak hal. Menikmati kebersamaan yang sesungguhnya. Sesuatu yang mewah di zaman modern dengan segala tetek bengek kemajuan teknologinya ini.


Saya memesan secangkir Kopi Susu Panas. Walau Bandung siang itu begitu panas, menu itu bagi saya masih cukup 'manusiawi'.
Pahitnya pekat, berpadu dengan rasa manis yang khas. Pas. Nikmat nian. Secangkir kebahagiaan paripurna dari Kota Kembang.

Selayaknya kopitiam, kedai kopi ini pun tak lupa menyajikan Roti Selai Srikaya sebagai kudapan pendamping kopi. Saya memang tidak memesannya saat kesini, karena sudah terlampau kenyang ketika makan siang di RM Legoh sebelum kesini.
Minuman dan kudapan lain pun tersedia. Begitu juga menu-menu main course seperti gado-gado, nasi goreng worst, dan lain-lain.

Bandoeng Tempo Doeloe
Sama seperti Kopi Es Tak Kie, Warung Kopi Purnama pun tak bergeming dari Jl. Alkateri hingga sudah generasi keempat kini. Tidak mengikuti arah arus zaman, dengan pindah ke lokasi 'premium'.

Sajian yang nikmat dengan balutan nostalgia masa lalu, sudah cukup membuat para pelanggannya untuk selalu datang dan datang lagi. Menjadi tempat perhentian sementara, di tengah hidup yang penuh ketergesa-gesaan. Menjadi pelarian sejenak dari rutinitas keseharian.

sesekali mejeng dikit 😉


Tabe!



PS:
> Alamat Warung Kopi Purnama: Jl. Alkateri No. 22, Bandung (tidak jauh dari Mesjid Raya Bandung)
> Buka setiap hari: 06.30 - 22.00
> Telp: (022) 4201841
> Email: warungkopipurnama@gmail.com
> IG: @warungkopipurnama
> Peta:

Kamis, 08 Desember 2016

Ada Kopi Di Balik Blue Doors

Artikel tentang kedai kopi di tengah kota Bandung ini muncul saat saya lagi browsing, mencari alamat Bees Knees Coffee Bandung yang pindah alamat.
Karena tidak juga ketemu lokasi baru Bees Knees Coffee tadi, di google juga orang-orang sekitar, saya lalu memutuskan untuk ke Blue Doors saja, daripada berlama-lama bengong di depan tempat yang kini berubah jadi rental playstation itu. Biarlah cukup Ayu Tingting saja yang kesana kemari mencari alamat palsu.

Lokasinya yang tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan angkutan umum, menjadi alasan utama saya-yang saat itu sedang sakaw (sakit karena kwopi *maksa)-untuk menyambanginya. Hanya dua kali naik angkot, dari Jl. Veteran Bandung (lokasi saya saat itu).

Walau memang agak tricky buat ketemu tempatnya, karena bagian depannya tertutup jaring-jaring kawat yang ditanami tumbuh-tumbuhan menjalar. Untungnya saya mencari kedai kopi ini dengan berjalan kaki, setelah turun di Jl. Riau, sehingga bisa lebih teliti dan seksama [😝] memperhatikan setiap rumah yang saya lewati.
Letaknya tidak jauh dari Taman Foto. Satu lokasi dengan Privilege Gallery. Toko pernik interior ini mungkin bisa dijadikan patokan, karena lebih kelihatan dari jalan. Halamannya pun dijadikan tempat parkir bersama dengan Blue Doors.


Saat itu sedang ramai pengunjung. Baik di luar maupun di bagian dalam kedai. Tidak besar ukurannya. Dindingnya 'dibiarkan begitu saja' tanpa finishing, sementara sedikit bagian dinding di belakang coffee bar sengaja dikelupas untuk memperlihatkan bata merahnya.

Saya memilih duduk di depan coffee bar di bawah poster The Beatles. Leluasa memperhatikan para barista yang bekerja, sambil menghirup harum kopi yang menyeruak tak karuan.


Walaupun ramai pengunjung, suasana bagian dalam kedai kopi berpintu biru di Bandung ini masih tetap bisa 'dinikmati' oleh orang-orang yang ingin menyepi sesaat-seperti saya-karena tidak begitu riuh seperti pasar malam.

Selain kopi (tentu), Blue Doors juga menyediakan menu lain seperti Carrot Cake, Veggie Juice, Strawberry Cheeshake, berbagai varian teh, dll.


Dan cangkir hitam penuh cappuccino pun menuntaskan dahaga kafein saya sore itu.

Blue Doors!
Kedai kopi berpintu biru di Bandung 😉


Tabe!



PS:
> Alamat Blue Doors: Jl. Gandapura No. 61, Bandung
> Jam buka: 10.00 - 22.00
> IG: @blue_doors
> Patokan kalau mau ke Blue Doors itu Taman Pramuka, Jl. Riau, lalu belok kanan (kalau dari arah Jl. Juanda), nanti 100 meter setelah Pizza Hut, sebelum Taman Foto, nah disitulah dia berada, sebelah kanan 😁
> Peta:

Selasa, 29 November 2016

Saudagar Kopi

'Hobi' jalan kaki menyusuri trotoar yang sering saya lakukan, memang memberi manfaat beragam, selain menguatkan tulang seperti kata kakak Sarah Sechan di iklan itu.
Kadang ketemu 'restoran' pinggir jalan yang makanannya tak kalah enak dengan yang di mall, atau ketemu tukang cilok dengan senyum menawan yang sayangnya seorang laki-laki. Sering juga ketemu nona cantik yang lagi jajan, yang tersipu-sipu melihat senyum menawan si abang tukang cilok.

Saudagar Kopi, kedai kopi di Sabang, Jakarta, ini pun salah satu dari manfaat jalan kaki menyusuri trotoar itu. Tidak sengaja saya temukan.
Letaknya sih strategis. Di tengah kota, mudah diakses, dan tidak jauh dari daerah perkantoran Thamrin. Tapi tempatnya yang mungil seolah tersembunyi, apalagi kalau didepannya sedang dipenuhi mobil-mobil yang parkir atau warung-warung tenda sudah mulai berjejer rapi sepanjang jalan H. Agus Salim itu saban malam.


Papan hitam bertuliskan "BReWiNg" (dengan segala uraiannya), akan dijumpai di depan kedai kopi ini. Saya kepincut dengan menu "Coffee for today" yang tertulis di papan itu. House Killer Blend. Nama yang sungguh membangkitkan rasa penasaran makhluk tampan rupawan pemilik blog alakadarnya ini.
Apakah racikan kopinya akan benar-benar 'membunuh', atau datar seperti muka Ryan D'masiv; si pelantun "Cinta Ini Membunuhku".

Saat masuk, ukuran kedai yang kecil makin terasa. Lebarnya sama seperti panjang kamar kost saya, sekitar tiga meteran. Mungkin kurang. Memanjang ke belakang beberapa belas meter, dengan hanya beberapa belas meja saja. Kurang lebih.
Tata ruangannya sederhana. Pajangan di dinding pun tidak banyak. Namun, mesin espresso tipe Linea dari La "super mehong" Marzocco yang 'duduk' manis di coffee bar, menandakan kalau di balik kesederhanaannya Saudagar Kopi ini adalah kedai kopi yang serius, seperti mantan band-nya Candil.



Hanya sedikit orang sore itu. Suasana tenang yang selalu kudambakan ketika ngopi-ngopi manja demi 'menghabiskan' waktu, 'melipir' dari rutinitas yang menjemukan.
Si bule di depan saya sibuk dengan laptopnya. Nona cantik di depan si bule, sibuk dengan smartphone-nya. Mungkin sedang chatting dengan abang tukang cilok; si pemilik senyum menawan.

Dan saya, di sofa merah, sendiri juga, menikmati House Killer Blend yang sudah hadir di meja. Kata barista brewokan berbaju merah yang mengantarnya, kopi ini campuran dari tiga biji kopi yaitu Toraja, Silimakuta dan Blue Batak (Lintong). Saya lupa menanyakan metode seduhnya. Tapi nikmatnya tak terbantahkan.
Pisang Tempura yang renyah dan manis menjadi pendamping yang pas.


ki-ka: House Killer Blend - Pisang Tempura
Bagi yang tidak suka dengan kopi hitam, atau yang sering ke kedai kopi tapi tidak pernah pesan kopi [ini ada loh :p], tidak usah ragu untuk mampir karena kalian tetap 'diterima' di sini. Karena ada si La Marzocco tadi, tentu ada juga menu seperti Espresso, Americano [eh dua ini kopi hitam juga kan ya? :D], Cappuccino, dan menu espresso based lainnya.
Es Kopi Kocok, signatures drink dari Saudagar Kopi, pasti segar diminum di siang hari yang panas. Juice dan menu non-kopi lain juga bisa jadi alternatif. Kudapan ringan pun ada lagi selain Pisang Tempura tadi. Nasi Ayam, Nasi Goreng dan lain-lain, bisa mengisi perut yang keroncongan.


Saudagar Kopi ini mungkin mungil secara ukuran. Tapi bisa dijadikan tempat perhentian sejenak, sembari menghindari kemacetan kota Jakarta di saat pulang bekerja.
Secangkir Cappuccino dengan latte art cantik diatasnya tentu sebuah penutup hari yang indah. Menghilangkan mumet di kepala, akibat rutinitas seharian di kantor.

Kafein itu menenangkan kawan! ;)



Tabe!



PS:
> Alamat Saudagar Kopi: Jl. H. Agus Salim, 26F, Sabang, Jakarta (tidak jauh dari Duta Suara. seberang rumah makan Padang)
> Buka: 07.00 - 22.00 WIB
> Peta :

Selasa, 22 November 2016

Akhirnya ke RM Legoh

Informasi tentang tempat makan ini saya dapatkan dari posting-an Soleh Solihun, di twitter, sekitar 2 atau 3 tahun lalu. Karena cuitan si stand up comedian Indonesia itu 'dilampiri' foto makanannya, yang 'sialnya' terlihat begitu menggiurkan, saya pun lalu mencari informasi alamat dari tempat makan itu di simbah google yang maha tahu.

Namun sayangnya tidak bisa langsung saya sambangi, karena lokasinya yang berada di Bandung. Saya bukan tipe spesies pelancong kuliner sejati, jadi tidak serta merta memaksakan diri pergi ke Bandung hanya untuk sekedar jajan. Tapi info yang saya print dari website RM. Legoh tetap saya simpan. Menunggu sampai kesempatan itu datang suatu saat nanti :p

pic: rmlegoh.com
Sempat senang saat tahun lalu, Soleh Solihun, si pemilik pertunjukkan tunggal stand up comedy bertajuk "Majelis Tidak Alim" itu kembali membuat cuitan soal cabang RM. Legoh di Pasar Santa, Jakarta. Jadi tidak harus jauh-jauh ke Bandung lagi.
Namun karena kesibukan yang amat sangat, si tampan ini baru bisa menyambanginya beberapa bulan lalu, saat RM. Legoh Jakarta itu sudah ditutup dan tidak beroperasi lagi.


Tapi, seperti kata nenek saya; "orang sabar itu pasti disayang Tuhan dan Chelsea Islan" [:p], kesempatan untuk menyambangi tempat makan yang dimiliki oleh Kang Leon, tukang gebuk drum dari band Koil itu, akhirnya datang di pertengahan Agustus lalu. Tentu ku bahagia dan bersuka akan hal tersebut ;)

Siang itu RM. Legoh masih sepi pengunjung. Mungkin karena baru buka atau sudah lewat jam makan siang. Membuat saya menghabiskan sepiring Sapi Rica dengan tenang dan penuh penghayatan :p
Daging sapi nan empuk yang overdosis rempah, ditambah daun kemangi yang berceceran, membuat lidah tak berhenti bergoyang gemufamire, sorong ke kiri sorong ke kanan, sambil moshing dengan gigi geligi. Pas sekali dipadupadankan dengan hot pulen rice.
Sayang saya pesannya yang pedas santai. Ke-maknyos-annya saya sinyalir akan lebih luarbiasa lagi kalau dalam level pedas mampus atau super mampus.

Bahasa lebay saya di atas memang patut diabaikan para pembaca budiman, tapi rumah makan ini sungguh sayang kalau diabaikan. Mampirlah barang sejenak ketika sedang di Bandung.


Menu-menu lain yang direkomendasikan oleh teman saya, yang ahli dalam dunia per-Legoh-an ini, tak lama setelah saya pulang ke Jakarta, membuat si Bradley Cooper yang tampan rupawan ini penasaran dan memutuskan untuk menyambangi tempat makan ini kembali.

Tidak berselang lama, hanya dalam waktu dua minggu saja, saya 'diberi kesempatan' oleh kantor untuk ke Bandung lagi. Rejeki blogger soleh [tanpa solihun]! :p
Saya pun kembali lagi ke tempat makan yang berlokasi di Jl. Sultan Agung No. 9 itu. Tepat di depan Sekolah St. Aloysius.

Sayangnya menu Iga Bakar Pedas Mampus sudah tidak dijual lagi, jadi terpaksa beralih ke menu lain yang direkomendasikan juga yaitu Dori Rica. Ikan goreng tepung nan renyah yang dilumuri bumbu rica ini, akan membuat kita sejenak lupa kalau si Dori sedang dicari oleh Nemo dkk, sejak beberapa bulan lalu :D

Dan karena cemilan adalah salah satu kunci kebahagiaan hidup [:p], maka gulungan Keju Aroma yang gurih pun 'ku paksa' untuk menutup kedatangan saya yang kedua ke tempat makan milik drummer Koil ini.

Dori Rica
Keju Aroma
Es Alpukat Kerok yang juga direkomendasikan, terpaksa saya 'sisihkan' dulu, mengingat saat itu hujan sedang mengguyur Bandung.
Karena hujan memang tidak cocok dengan yang dingin-dingin. Cocoknya mah cuma sama kamu yang suka menghangatkan ;)

Tapi mungkin saja ini pertanda dari alam semesta jagat raya, kalau saya 'diminta' untuk kembali lagi kesini. Siapa tahu bisa poto-poto sama Kang Leon, drummer Koil yang adalah pemilik RM. Legoh, juga merangkap sebagai tukang masak yang suka menulis tidak jelas di website-nya Legoh (begitu yang tertulis di website itu).

Kang Leon
(pic: rmlegoh.com)
Sampai juga lagi Bang Legoh!


Tabe!



PS:
> Alamat RM. Legoh: Jl. Sultan Agung (yang ada patung tukang PAM :D, sebelum prapatan Jl. Riau/R.E. Martadinata atau BIP), No. 9, Bandung 40115
> RM. Legoh buka tiap hari pukul 11.00 - 21.00 WIB
> Telp. 022-4268108
> Email: rmlegoh@gmail.com
> FB: RM Legoh
> Twitter: @rmlegoh
> Peta :


Jumat, 18 November 2016

Senja

Jingga
Emas
Kemerahan
Di ufuk barat kembali berpendar

Semua terperangah
Semua berujar indah

Gawai diangkat tinggi-tinggi
Tinggi-tinggi hingga hilang momentum

Tak peduli mereka di balik indah itu
Ada mentari yang mengalah pada purnama
Sementara waktu

Ah Tuhan,
Apa memang kekalahan kadang bisa seindah ini?



-deChivo-
Kos Mabes, 02 Oktober 2016

photo by me; si blogger tampan rupawan :p

Senin, 14 November 2016

Dreezel Coffee

'Praktek' nongkrong sambil ngopi yang kini menjadi gaya [-gayaan] hidup-terutama di kota-kota besar-membuat tampilan kedai kopi yang kece adalah keharusan, demi memuaskan hasrat anak-anak muda kekinian untuk menjadi sosok yang hits di segala jenjang media sosial.

Tetek bengek interior dan eksterior kedai diperhatikan sedetail mungkin agar bisa instagrammable maksimal, sehingga spesies berwajah biasa-biasa saja pun bisa tampak cetar bak Princess Syahrini ketika ber-selfie ria.


Namun tidak dengan kedai kopi di Jl. Cisangkuy ini. Mereka hanya memanfaatkan bekas pos satpam di halaman sebuah rumah-atau mungkin kantor-yang disulap menjadi coffee bar untuk menyeduh kopi yang hendak disajikan.
Meja dan kursi untuk pengunjung tersusun di sekeliling 'pos', yang adalah halaman parkir. Itu pun tidak banyak, karena masih harus menyisakan sedikit space parkiran.

Tapi bukan berarti Dreezel Coffee tidak 'dilirik' orang. Seperti kata Ben si barista Filosofi Kopi, "kopi yang baik akan selalu menemukan penikmatnya". Sudah ada yang nongkrong saat saya sampai. Rata-rata mereka juga adalah anak-anak muda, yang sepertinya kekinian, karena tidak berpenampilan seperti saya. hehe
Beberapa duduk di bangku tepat di depan coffee bar, [sepertinya] sedang melakukan coffee cupping kecil-kecilan.

Hampir semua pengunjung yang ada, terlihat akrab bercengkerama dengan para barista. Mungkin sudah menjadi pelanggan tetap di kedai kopi ini. Bisa juga mereka memang berteman, karena seringkali kedai-kedai kopi seperti ini memanfaatkan jaringan pertemanan (komunitas)-entah dunia nyata maupun maya-untuk 'mengenalkan' kedai kopi milik mereka.

Saya lalu memutar sedikit menuju belakang 'pos', bertemu dengan si barista untuk memesan. Terlihat sempit sekali bagian dalam kedainya karena dipenuhi berbagai macam alat-alat seduh kopi. Biasanya saya selalu memesan antara tiga menu; Tubruk atau Longblack atau Cappuccino. Tapi sore itu saya ingin mencoba menu lain, yaitu racikan manual brew ala third wave coffee shop, yang kini sedang digandrungi para penikmat kopi.
Ketidaktahuan saya akan racikan seperti itu, membuat saya pun mengiyakan tawaran rekomendasi dari si barista.


Tidak terlalu lama saya menunggu, si barista berambut klimis pun datang dengan gelas di tangan kiri dan tabung kaca ala laboratorium kimia yang berisi cairan kemerahan di tangan kanan.

"Di seduh menggunakan alat seduh V60, dengan single origin yang dipakai adalah Manglayang Karlina. Bean asli bumi Parahyangan. Untuk yang baru mencoba seduh manual, single origin ini pas, karena bodinya ringan dengan sedikit rasa asam". Si barista menjelaskan, sambil menuangkan kopinya ke gelas dan memberikan ke saya untuk dicoba. *kata-katanya sedikit diedit :D

Ini teh kopi apa teh?
Saya memang tidak begitu asing dengan V60 ini. Sudah sering saya baca soal alat seduh yang sepertinya salah satu andalan dalam dunia 'per-manualbrewing-an'. Katanya metode pour over dengan V60 ini bisa menghasilkan kopi yang cenderung memiliki aroma lebih kuat, hasil kopi yang bersih, dan menonjolkan karakter-karakter tertentu.
Sajian Manglayang Karlina yang saya coba di Dreezel Coffee ini pun sepertinya mengiyakan penjelasan di atas. Ada sensasi lemon yang menyeruak di setiap seruputan. Maafkan kalau seharusnya karakter rasa lain yang muncul. Saya bukan Q Grader handal, tidak juga pernah ikut coffee cupping. Saya hanyalah remah-remah rengginang di sudut kaleng khong guan, yang kebetulan suka ngopi :D

gelembung-gelembung sukaria
Di depan saya ada seorang pemuda harapan bangsa-yang sepertinya meminum menu kopi yang sama juga-terlihat menjejali kopi miliknya dengan beberapa bungkus gula.

Kata teman saya, minum kopi itu harus tanpa gula. Jadi citarasa aslinya bisa terasa. Menurut artikel-artikel yang pernah saya baca pun seperti itu. Tapi bagi saya sih hal itu kembali lagi ke selera masing-masing orang. Tidak bisa dipaksakan dengan segala tetek bengek aturan baku yang ada. Saya pun baru beberapa tahun belakangan ini 'sok-sokan' minum kopi tanpa gula.

Makanya saya tetap memaklumi si pemuda harapan bangsa tadi, walaupun sudah bungkus ketujuh gula yang dia tuangkan.
Kok banyak ya??? -_-'. hahaha

Ah sudahlah.
Yang pasti racikan kopi dengan metode pour over menggunakan V60 ini-yang baru pertama kali saya coba-sepertinya membuat saya ketagihan. Membuat saya juga ingin mencoba racikan manual brew lainnya. Siapa tahu hidup saya lebih berwarna lagi. Walau 'si tubruk' pun sudah memberikan warna-warni itu, tak ada salahnya mencoba hal baru.
Cheers! ;)

mau pesan apa neng?



Tabe!



PS:
> Alamat Dreezel Coffee: Jl. Cisangkuy, No. 56, Bandung.
> Buka setiap hari: 08.00 - 22.00.
> IG: @dreezelcoffee.
> Email: dreezelcoffee@gmail.com.
> Letak Dreezel Coffee ini di depan Taman Lansia, pas di perempatan Jl. Cimanuk - Jl. Cisangkuy, tidak jauh dari Pasar Cisangkuy atau Yoghurt Cisangkuy.
> Peta (*akhirnya tau cara sematin google maps ke blog. yeaaay!! :p):

Senin, 07 November 2016

NuArt Sculpture Park

Hujan tiba-tiba mengguyur, saat kami sampai di salah satu sisi Bandung ini.
Setelah sekian lama berkendara-keliling dengan sepeda motor pinjaman-demi mencari tempat yang kata teman saya; berlimpah imajinasi. Seharusnya mudah untuk menemukan tempat ini. Sayang, adik saya yang belum juga hapal jalanan Bandung-padahal sudah setahun di sini-diarahkan oleh saya yang sotoy.


Buru-buru kami masuk ke gedung galeri demi menghindari hujan. Melewati patung kepala ibu-ibu yang terbuat dari batu (mungkin. lupa liat keterangannya :D) yang solid dan cukup besar ukurannya.

Dua orang gadis cantik lalu menyapa. Mengira kami mau menonton film yang akan diputar di lantai atas oleh sebuah komunitas di Bandung.
Setelah memastikan kalau patung-patung yang dipajang itu bisa difoto, baru kami mulai berkeliling tempat ini.
Tampak di beberapa sisi gedung, ada segelintir pekerja yang sedang melakukan renovasi.


NuArt Sculpture Park ini bisa dibilang museum pribadi, tempat menyimpan buah karya dari Nyoman Nuarta. Seorang seniman, pematung yang berasal dari Tabanan, Bali, namun kini berdomisili di Bandung.
'Museum' yang berdiri di atas lahan seluas 3,6 hektar ini, terlihat cukup modern dengan pencahayaan yang sangat bagus. Ada tiga lantai, yang semuanya dipenuhi puluhan karya patung tembaga, yang tertata dengan apik dan estetis. Sebagian patung juga tersebar di sekeliling halaman 'museum' ini.

Ada satu keunikan dari bangunan gedungnya, dimana dinding bagian bawahnya menggunakan batu, sementara sebagian atasnya berdinding kaca.


Saya yang menyukai karya seni-juga punya bakat seni, walau seuprit. hehehe-memang sudah excited sejak merencanakan untuk mengunjungi tempat ini.

Lantai bawah, walau hanya sedikit patung yang dipajang, tapi tetap berhasil membuat saya berdecak kagum. Manggut-manggut sotoy di depan setiap patung yang terpajang.
"Kok bisa ya. Detail sekali pengerjaannya", ujar adik saya dalam bahasa daerah, dengan ekspresi kagum yang sama seperti kakaknya yang tampan ini.

Patung Rush Hour II, dalam bentuk seorang pengendara yang mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi, sepertinya menggambarkan kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar yang penuh dengan ketergesa-gesaan. Hanya fokus ke depan, tak lagi memperdulikan lingkungan disekitarnya. Mengayuh cepat meninggalkan yang lain atau woles-woles happy walau nanti akan ditertawakan orang lain yang berhasil menyalip.

Yah, walaupun mungkin artinya bukan seperti itu juga. Mungkin saja patung itu menggambarkan Jackie Chan atau Chris Tucker yang sedang mengejar anggota Triads di jalanan Los Angeles. Siapa tahu. Bisa saja kan. Saya hanya menerka-nerka sendiri, karena tidak ada pemandu yang menemani.

Tapi, toh sebuah karya seni selalu 'membebaskan' penikmatnya untuk berinterpretasi, mengikuti imajinasi mereka masing-masing. Begitu kata guru seni saya dulu.

Rush Hour II
1992
Copper & Brass
350 x 50 x 150 cm
Tak jauh dari Rush Hour II, tepat di depan gerbang gedung, Patung Devi Zolim berdiri gagah 'menyambut' setiap pengunjung yang datang.

Dengan membawa timbangan di tangan kiri dan tongkat sabit Grim Reaper di kanan, sang dewi berdiri dengan pongah di atas tubuh seorang gadis yang mengerang kesakitan, dengan belenggu di kedua tangan dan kakinya.
Keadilan yang menyakitkan. Menyakiti atas nama keadilan.

Itulah gambaran yang saya dapatkan (walau hanya dibolak-balik kata-katanya :p). Kita semua mungkin sudah kenyang akan hal itu, karena setiap hari selalu ditampilkan di televisi. Sebuah pesan satir nan menohok dari Nyoman Nuarta.

Devi Zolim
2015
Copper & Brass
240 x 150 x 230 cm
Patung Durjana pun tak kalah filosofis.
Berbentuk seorang lelaki yang seolah sedang membelah diri (tapi bukan mau berkembangbiak layaknya amoeba :p). Bagian kiri laki-laki itu tampak penis yang ditutup daun sirih (karena terlalu besar untuk dibilang daun kelor, dan kekecilan untuk ukuran daun keladi), sambil memegang pisau dibelakangnya. Sementara di sisi kanan, tangan lelaki itu direnggangkan dengan seekor burung duduk manis diatasnya.
Silahkan diartikan sendiri, agar saya tidak makin sotoy.

Durjana
2008
Copper & Brass
240 x 85 x 280 cm
Di sisi paling kiri lantai bawah, di dindingnya tergantung dua lukisan dengan ukuran yang cukup besar. Potret si empunya 'museum' dan lukisan tentang proses pembuatan patung Garuda Wisnu Kencana. Saya lupa mencatat nama si pelukisnya, tapi sangat takjub ketika tahu kalau kedua lukisan itu adalah kumpulan titik-titik yang entah berapa jumlahnya.

Saya cuma bisa bergumam, "Niat amat ya bikin ginian".

Di samping, adik saya hampir menempelkan mukanya ke lukisan itu demi melihat lebih dekat setiap detailnya.



Menurut info dari wikipedia, Nyoman Nuarta, si pemilik 'museum', adalah salah satu sosok pematung terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia. Ia mendapatkan gelar sarjana seni rupanya dari Institut Teknologi Bandung.

Sudah ratusan karya patung yang telah dia hasilkan hingga kini. Beberapa masterpiece-nya antara lain Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta), Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), Patung Arjuna Wijaya atau biasa disebut dengan Patung Kuda; yang tanggal 4 November kemarin dipenuhi masa aksi damai itu (persimpangan Jl. M.H. Thamrin - Jl. Medan Merdeka, Jakarta), dan Patung Garuda Wisnu Kencana (Bali) yang sedang dalam proses pengerjaan sampai sekarang.

Dan demi menyimpan karya-karyanya itulah NuArt Sculpture Park ini didirikan sejak tahun 2000 silam.


Di lantai dua, ada satu sisi yang dikhususkan sebagai tempat pameran karya-karya seni milik seniman lain. Patung-patung karya sang maestro, terpajang di sisi yang lain, dengan jumlah yang lebih banyak. Di lantai tiga pun tak kalah banyaknya.

lukisan karya seniman lain.
*abaikan lelaki menggemaskan berbaju merah itu!
kiri (dari atas): La Madame (1993); Dignity (2015); December Wind I (1993).
kanan: Dreams of Garuda (2015)
Miniatur patung Garuda Wisnu Kencana yang terpajang, memberi 'janji' akan megahnya patung aslinya, yang proyek pembangunannya kembali dilanjutkan setelah mangkrak belasan tahun lamanya. Patung yang berada di Nusa Dua Bali itu bisa menjadi patung terbesar sedunia, dengan tinggi 120 meter dan lebar 65 meter.

Patung yang akan selalu mengingatkan pada rakyat Indonesia atas asal-muasal lambang negara; Garuda Pancasila.


"Nightmare" dan "Condemned" mewakili cerita pilu bangsa di masa lalu.
Derita para korban kerusuhan Mei 1998 digambarkan dengan patung perempuan terlentang yang seolah tak berdaya untuk bangun dari tidurnya. Lilitan hitam yang mencengkeram sekujur tubuh begitu kuat menahan perempuan itu.
Sementara patung seorang lelaki yang duduk di atas kursi sambil menundukkan kepala, dengan tiga kursi kosong di kiri kanannya, merujuk pada kasus politik empat orang pidana mati yang cukup menghebohkan pada tahun 1988 lalu. *hasil googling


Condemned
1988
Steel Wire
255 x 78 x 108 cm
Benar kata teman saya.
NuArt Sculpture Park ini tak bisa dinikmati sambil lalu. Saat berada di depan setiap patung, rasa kagum selalu muncul beriringan dengan segala bentuk tafsir akan karya tersebut. 'Dipaksa' masuk ke dalam cerita dan imajinasi sang maestro, yang diwakili oleh masing-masing patung.

Nong Gupi mau jadi gembala seperti Tasya ketika libur telah tiba :D
Suasana sekitar 'museum' yang begitu asri, sejuk dan tenang, menjadikannya tempat yang pas juga nyaman untuk 'melarikan diri' dari hiruk pikuk kota.
Bagi yang suka ngopi, di sini pun tersedia kedai kopi kecil untuk sekedar berleha-leha.



Tabe!



PS:
> Alamat NuArt Sculpture Park: Jl. Setraduta Raya No. L6, Bandung.
> Terakhir saya kesana (awal Agustus) masuknya gratis, tapi beberapa minggu lalu di satu acara tivi, sepertinya sudah ada biaya tiket masuk.
> Telp. 022-2020414, 2017812.
> Email: info@nuartsculpturepark.com.
> Peta lokasi NuArt Sculpture Park (kalau masih bingung juga, tanya saja letak Perumahan Setraduta pas sudah di Pasteur :D):

Jumat, 28 Oktober 2016

[Photo]: Koleksi Istana Kepresidenan RI

Sebuah istana, sejak dulu, biasanya selalu dipenuhi dengan hiasan berupa karya-karya seni yang berkualitas tinggi. 'Kebiasaan' itulah yang mungkin mendasarkan Bung Karno-Proklamator Kemerdekaan & Presiden Pertama RI-untuk membawa koleksi-koleksi lukisan miliknya ke Istana Kepresidenan agar bisa dipajang di sana. Selain itu, beliau juga selalu menyempatkan diri untuk menambah koleksi-koleksi tersebut, bahkan mengangkat beberapa orang seniman sebagai pelukis istana.
Total koleksi seni yang tersebar di setiap Istana Presiden ada sekitar 15.000 lebih, dengan 2.800 diantaranya adalah koleksi lukisan dari seniman ternama Indonesia dan mancanegara.

Namun sayangnya, koleksi-koleksi itu hanya sedikit yang dipajang di masing-masing Istana Kepresidenan. Sebagian besarnya cuma disimpan di gudang. Walau proses perawatan tetap rutin dilakukan.
Lebih disayangkan lagi, sedikit koleksi yang dipajang itu pun tidak bisa dilihat oleh masyarakat umum. Seperti kata Presiden Jokowi dalam sambutannya; "Masyarakat tidak bisa menikmati, masyarakat tidak bisa menghargai, mengapresiasi, sehingga masyarakat tidak merasa ikut memiliki".

Hal itulah yang mendasari Istana Kepresidenan RI menggelar pameran sejumlah koleksi lukisan dan foto-foto kepresidenan. Agar masyarakat (terutama anak muda) bisa melihat, sekaligus belajar nilai-nilai kejuangan dan persatuan melalui karya-karya tersebut.
Pameran yang juga dibuat dalam rangka menyambut dan menyemarakkan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 ini diselenggarakan sepanjang bulan Agustus lalu (2-30 Agustus 2016), di Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta.

Dengan mengusung kisah-kisah narasi kemerdekaan, pameran ini diberi tajuk "17/71: Goresan Juang Kemerdekaan", dengan menampilkan 28 lukisan yang berasal dari 21 pelukis, 100 foto kepresidenan, dan 9 buku tentang koleksi lukisan Istana Kepresidenan.
Proses kuratorial untuk pameran ini dilakukan oleh ahli seni rupa Mikke Susanto dan Rizki A. Zaelani, dengan memakan waktu selama satu tahun.

Koleksi-koleksi lukisan Istana Kepresidenan yang ditampilkan di pameran itu seperti lukisan Laskar Rakyat Mengatur Siasat I (1946), lukisan Affandi di atas kain (sambungan) yang pada mulanya dijadikan sebagai poster (untuk menggelorakan perlawanan) namun diminta oleh Bung Karno untuk dipajang sebagai lukisan.

Affandi
Laskar Rakyat Mengatur Siasat I
130x155 cm, 1946, oil on canvas
Ada juga tiga lukisan potret, yaitu Potret R.A. Kartini (1946/7) oleh Trubus Sudarsono, Potret Jenderal Sudirman (1956) oleh Gambiranom Suhardi, dan Potret H.O.S. Tjokroaminoto (1946) oleh Affandi.


Lukisan potret pahlawan lain adalah lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang (1949), karya Basoeki Abdullah. Lukisan ini dikerjakannya di Belanda, bertepatan dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Lukisan ini diberikan Basoeki Abdullah kepada Presiden Sukarno antara tahun 1950-1955.
Lukisan lain karyanya antara lain Potret Hatta, Potret Ibu Rahmi Hatta, Potret Mr. Mohamad Roem, dan Potret Sultan Hamid II.

Basoeki Abdullah
Pangeran Diponegoro Memimpin Perang
120x150 cm, 1949, oil on canvas
Ada juga lukisan Diponegoro (1947) oleh pelukis Sudjono Abdullah, kakak dari Basoeki Abdullah.

Sudjono Abdullah
Diponegoro
102x82,5 cm, 1947, oil on canvas
Lukisan tentang Pangeran Diponegoro yang lain adalah karya Raden Saleh yaitu Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857). Lukisan ini mungkin yang paling menyita perhatian pengunjung, karena sebelumnya hanya bisa dilihat di buku pelajaran sejarah di sekolah.
Lukisan ini juga menjadi yang tertua dari semua lukisan yang dipamerkan.

Raden Saleh
Penangkapan Pangeran Diponegoro
Lukisan yang menggambarkan saat masa-masa perjuangan (selain lukisan Affandi di atas tadi), seperti : Persiapan Gerilya (1949) oleh Dullah, Biografi II di Malioboro (1949) oleh Harijadi Sumadidjaja, Kawan-kawan Revolusi (1947) oleh S. Sudjojono, dan Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek (1964) oleh S. Sudjojono.

Dullah
Persiapan Gerilya
178x197 cm, 1949, oil on canvas
Harijadi Sumadidjaja
Biografi II di Malioboro
180x200 cm, 1949, oil on canvas
S. Sudjojono
Kawan-kawan Revolusi
95x149 cm, 1947, oil on canvas
S. Sudjojono
Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek
175x250 cm, 1964, oil on canvas
Di salah satu ruangan pameran, terpajang koleksi lukisan-lukisan yang 'Indonesia banget', seperti lukisan penari Bali karya Srihadi Soedarsono yang diberi judul menggunakan nama putri pertamanya yaitu Tara.
Juga lukisan lain seperti Gadis Melayu dengan Bunga (1955) oleh Diego Rivera, Empat Gadis Bali dengan Sajen (sekitar 1933-1936) oleh Miguel Covarrubias, dan Kehidupan di Borobudur di Abad ke-9 (1930) oleh Walter Spies.

Srihadi Soedarsono
Tara
140x140 cm, 1977, oil on canvas
Diego Rivera
Gadis Melayu dengan Bunga
Miguel Covarrubias
Empat Gadis Bali dengan Sajen
90x70 cm, 1933-1936, oil on canvas
Walter Spies
Kehidupan di Borobudur di Abad ke-9
65x80 cm, 1930, oil on canvas
Selain lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro dari Raden Saleh, ada juga lukisan lain yang tak kalah menyita perhatian pengunjung pameran yaitu lukisan berjudul Rini (1958). Lukisan ini dibuat oleh Presiden Soekarno berdasarkan sketch lukisan yang tidak selesai dikerjakan oleh Dullah, si pelukis Istana Presiden kala itu.

Begini kisahnya yang ditulis Dullah dalam buku koleksi lukisan Sukarno :
"Selang beberapa waktu jang lalu Bung Karno pergi beristirahat di Bali. Dullah, pelukis Istana Presiden, diadjaknya. Seperti biasa Dullah di Bali mentjoba membuat lukisan. Tetapi baru sadja dibuat garis-garis tjenkorongan (sketch) yang belum berarti telah ditinggalkannja kembali ke Jakarta dan tidak dikerdjakannya lagi. Pada bulan Nopember masuk Desember tahun 1958 Bung Karno kembali lagi ke Bali beristirahat selama sepuluh hari. Dullah tidak ikut. Tahu-tahu selama sepuluh hari. di Bali Bung Karno melukis menjelesaikan sketchnya Dullah hingga selesai menjadi sebuah lukisan seperti jang tertjantum dalam halaman ini. Tentu sadja banjak dibuat perobahan-perobahan dan tambahan-tambahan dari sketch semula."

Ir. Sukarno
Rini
50x70 cm, 1958, oil on canvas
Yang juga menyita perhatian adalah lukisan yang menjadi latar belakang pembacaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Lukisan berjudul Memanah karya Henk Ngantung ini bahkan menjadikan Bung Karno sebagai model saat menyelesaikan bagian lengan yang belum sempurna.

"Lukisan bagus. Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus, terus dan terus bergerak maju", begitu kata Sukarno saat pertama kali melihat lukisan ini.

Namun karena lukisan yang dibuat di atas tripleks itu sudah mulai koyak, maka dibuatlah reproduksi orisinalnya oleh Haris Purnomo.

foto pas pembacaan proklamasi kurang jelas terlihat lukisannya, jadi diambil yang ini.
lokasi foto ini sama juga yaitu teras rumah Bung Karno.
pic: historia.id
Henk Ngantung
Memanah
153x153 cm, 1943, oil on plywood
Reproduksi orisinal oleh Haris Purnomo, atas inisiatif Istana Presiden
Lukisan-lukisan lain yang tidak sempat difoto oleh saya (lowbat :D), antara lain : Pertempuran di Pengok (1949) oleh Kartono Yudhokusumo, Di Depan Kelambu Terbuka (1939) oleh S. Sudjojono, Awan Berarak Jalan Bersimpang (1955) oleh Harijadi Sumadidjaja, Mengungsi (1950) oleh S. Sudjojono, Sekko (Perintis Gerilya) (1949) oleh S. Sudjojono, Ketoprak (1950) oleh Soerono, Margasatwa dan Puspita Nusantara (1961) oleh Lee Man-Fong, Penari-penari Bali Sedang Berhias (1954) oleh Rudolf Bonnet, Kerokan (1955) oleh Hendra Gunawan, Fadjar Menjinsing (1949) oleh Ida Bagus Made Nadera, dan Pantai Karang Bolong (tahun tak terlacak-sekitar 1950an) oleh Mahjuddin.

Selain ke 28 lukisan di atas, seperti yang sudah disebutkan, ikut pula dipamerkan 100 foto dokumentasi tentang aktivitas para Presiden Indonesia-khususnya Bung Karno-yang terkait dengan seni rupa.

salah satu sisi dinding di ruangan pameran foto
Mengenai pameran ini, saya setuju dengan statement dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Anies Baswedan (sekarang sudah mantan) saat pembukaan pameran :
"Kami berharap dari sini kita menyadari lagi, mengingatkan ulang, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kreatif. Karya-karya lukis kreatif, bagi sekolah, bagi guru-guru, adalah kesempatan untuk mengingatkan kembali bahwa yang disebut sebagai prestasi dari anak-anak kita bukan saja prestasi akademik di bidang-bidang yang diujikan secara standar, tapi juga prestasi-prestasi bidang kreatif, utamanya pada bidang seni."

Nong Gupi menunggu giliran untuk registrasi, sebelum masuk tempat pameran
Dan seperti yang saya sampaikan ketika mengobrol dengan guide pameran, harapannya semoga kegiatan ini bisa digelar secara rutin kedepannya, dan kalau boleh muluk-muluk, semoga bisa dibuatkan satu museum besar khusus untuk menampung sekaligus memamerkan semua koleksi dari Istana Kepresidenan yang belasan ribu itu, agar bisa dinikmati oleh masyarakat.



Tabe!