Sabtu, 26 Desember 2015

Jakarta. Malam.

21.30
Angka yang terpampang di jam analog hapeku.
Akhirnya selesai juga kerjaanku hari ini. BENAR-BENAR SELESAI. Komputer sudah shut down. Tumpukan berkas sudah kembali berjejer rapi di rak kecil di bawah meja.
Kulangkahkan kaki menuju pintu keluar. Menganggukan kepala sambil tersenyum kepada atasan yang terlihat di balik jendela kaca, saat melewati ruang meeting. Berharap tak dipanggil lagi seperti tadi, dan dikasih tugas kembali. Ruangan itu masih penuh berisi. Wajah-wajah kusut yang kelelahan, masih berjejer disekeliling meja rapat panjang itu. Rapi seperti berkas-berkas di rak kecilku. Entah apa yang sedang dibicarakan di sana, sampai begitu sangat lama.

Akhir tahun memang menjadi momok yang menakutkan bagi semua karyawan di kantor ini. Deadline mengejar setiap saat. Aku pun setali tiga uang. Kolom-kolom tabel Excel dan suara atasan yang memanggil, akan selalu menghantui.

*     *     *

Jalanan masih dipenuhi ratusan kendaraan yang berjubel 'mengantri'. Suara klakson bersahut-sahutan. Entah apa maksudnya. Seolah hal itu-membunyikan klakson-bisa mengurai kemacetan.

Jakarta memang sudah tidak bisa tertolong lagi dengan 'penyakitnya' ini. Sudah kronis.

Aku berjalan menyusuri trotoar menuju Halte Transjakarta Sarinah. Hal yang selalu aku lakukan sejak Halte Bundaran Hotel Indonesia ditutup sementara, karena adanya proyek pembangunan MRT (Mass Rapid Transit), yang katanya bisa menjadi solusi mengatasi macetnya Jakarta.
Entah kapan selesainya proyek ini.

Beriringan, juga berpapasan dengan orang kantoran lain. Ternyata banyak juga yang bernasib sama seperti aku. Mungkin. Mungkin juga mereka sekedar ingin menghindari macet, atau justru mengejar uang lemburan.

Saat mulai menaiki satu demi satu anak tangga jembatan penyeberangan, entah kenapa aku malah melangkahkan kaki menuju Sarinah.
Pusat perbelanjaan pertama di Indonesia. Pencakar langit pertama di Jakarta.

*     *     *

Wangi kopi menyeruak saat aku memasuki kafe yang berada di lantai dua pusat perbelanjaan ini. Deretan kursi-kursi penuh terisi. Sang Barista berada di balik Victoria Arduino* yang agung, memberi sentuhan magisnya pada setiap racikan kopi, demi memuaskan hasrat para penggila kafein.

Pada pelayan kupesan kopi favoritku; Long Black, yang air panasnya dikurangi hingga sepertiga. Agar tidak terlalu watery. Begitu kata temanku.

Malam ini ada sesi live akustik. Gadis cantik dengan rambut sebahu, seorang diri di panggung, hanya ditemani gitar miliknya.
Selalu terlihat seksi memang wanita yang memainkan gitar.

"Mau sekalian pesan sama makanannya Mas?"
Suara pelayan yang mengantar pesanan, menyadarkan aku dari buaian suara lembut si gadis.

Aroma kopi di cangkir itu langsung tercium. Sangat menenangkan. Juga warna keemasan dari crema di atas permukaan kopi yang terlihat begitu indah. Mumetnya kepala sedari pagi tadi tiba-tiba hilang tak berbekas.
Coklat memang memberi efek bahagia, tapi kafein memberi lebih dari itu.

Tiba-tiba angka 12 pada papan nomor dari acrylic yang berada di atas meja, membangkitkan memori yang telah lama hilang. Menghadirkan kembali senyum indah itu kehadapanku. Meja ini adalah tempat favorit kami berdua menghabiskan waktu setiap Kamis malam. Tepat di sudut ruangan, di samping jendela kaca.
Dia yang memilih kafe, juga meja ini. Lampu yang temaram, berpadu dengan alunan irama jazz, membuat tempat ini terasa begitu syahdu dan romantis. Begitu dia beralasan.
Setiap Kamis malam, di kafe ini memang selalu menghadirkan musisi-musisi jazz ibukota. "Jazz Malam Jumat" namanya.

Ah aku jadi rindu.
Rindu melihat bibir mungilnya menyentuh pinggir cangkir, menyeruput dengan perlahan, berusaha menghabiskan Cappuccino miliknya tanpa harus merusak latte art yang ada di atas kopi itu.
Rindu dengan senyum puasnya, saat bunga lotus karya si Barista itu masih tetap utuh, walau kopinya sudah tandas.

Kata si bijak, "lebih baik katakan apa adanya bila memang rindu, karena waktu takkan mampu berpihak pada perasaan yang meragu".

Sayangnya aku tak tahu kemana harus mengirim rindu ini. Entah dimana gerangan dirinya kini.

Aku, di sudut ruang ini, hanya berteman secangkir kopi, dengan tenang menyelami sepi, membelai sunyi, menata hati.



-Jakarta, Agustus 2015-



*mesin Espresso manual dari Italia

Rabu, 23 Desember 2015

Kuliner Khas Daerah di Jakarta

Kekayaan kuliner yang dimiliki Indonesia sangat beragam. Sepertinya ada seribu satu menu, dengan sejuta rasa. Di setiap sudut nusantara, tersebar segala macam makanan dengan cita rasa yang kuat dan berbeda-beda. Rempah-rempah yang dulu memicu kedatangan bangsa Eropa kesini adalah rahasia dibaliknya.

Masing-masing daerah memiliki makanan khas sendiri-sendiri, yang dipengaruhi oleh budaya dan kearifan lokal daerah tersebut. Setiap orang yang berkunjung ke suatu daerah tertentu, selain mengunjungi tempat-tempat wisata di daerah tersebut, pasti akan berburu makanan lokal juga.

Tapi untuk ukuran kota sebesar Jakarta, sepertinya tidak harus mengeluarkan budget berlebih untuk jalan-jalan keliling Indonesia, demi sekedar mencicipi makanan daerahnya, karena semua tersedia di sini. *gak semua juga sih :D
Berikut 7 kuliner khas daerah yang ada di Jakarta (dari sekian banyak yang ada), yang baru pertama kali saya coba makan (kecuali yang terakhir), yang mungkin mau dicoba juga sama saudara-saudaraku yang terkasih dimanapun kalian berada.

Jangan ditanya kenapa cuma tujuh. Kenapa tidak ditambah lagi tiga biar pas jadi sepuluh, atau dikurangi dua biar hanya lima saja. Terlalu susah untuk dijelaskan dengan kata-kata. *dikeplak*

*   *   * 

1. Mie Aceh & Teh Tarik (Bendungan Hilir)

Selain memiliki 'sayur hijau' yang kualitasnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia, Aceh juga punya kuliner khas yaitu Mie Aceh. Lebih jelasnya olahan mie khas Aceh. Karena mie kan asli dari China, seperti halnya beras plastik yang juga dari sana asalnya.

Mie Aceh berbahan dasar mie kuning tebal, yang dicampur dengan bumbu yang kaya akan rempah-rempah. Biasanya ditambahkan dengan irisan daging sapi/kambing/ayam/makanan laut seperti kepiting, udang & cumi. Sebagai pelengkapnya diberi tambahan potongan bawang merah, emping dan mentimun. Dihidangkan dalam tiga varian, yaitu Goreng, Kuah dan Basah.

Sementara Teh Tarik adalah minuman khas yang merupakan perpaduan bubuk teh hitam dan susu kental manis. Minuman ini bisa ditemukan di Malaysia, India, Thailand, Singapura dan Indonesia (Riau, Kep. Riau, Aceh).
Diberi nama teh tarik karena cara pembuatannya dilakukan dengan menuangkan campuran teh dan susu tadi, dari satu gelas ke gelas lainnya, sehingga menyerupai tarikan. Proses 'penarikan' tersebut dilakukan terus menerus sampai tercampur sempurna, kandungannya semakin pekat, aromanya keluar dan terbentuk lapisan busa lembut diatasnya.

Nah, kedua kuliner ini pernah saya coba di sebuah rumah makan di daerah Bendungan Hilir. Tepatnya berada di deretan ruko-ruko di Jl. Raya Bendungan Hilir, No. 16, setelah Pasar Benhil, seberang RM. Sederhana.
Tidak ada nama, hanya ada tulisan Mie Aceh saja di depan pintunya.

Walau baru pertama kali coba, tapi kalau dibandingkan dengan jenis olahan mie yang lain, sepertinya Mie Aceh jauh lebih enak (menurut saya).
Gurih sekali. Bumbu rempahnya banyak. Aroma kemiri dan lada hitam membuat cita rasanya menjadi maknyos sempurna. Sayangnya agak kurang pedas. Kata pelayan, itu karena bumbunya sudah disesuaikan dengan lidah orang Jakarta, jadi tidak terlalu pekat dan pedasnya pun tidak terlalu menyengat seperti Mie Aceh sebenarnya.

Kalau untuk Teh Tarik, kurang begitu spesial di lidah saya. Kurang spesial maksudnya tidak mungkin membuat saya akan tiba-tiba 'ngidam' mau minum.
Tapi perpaduan rasa teh, susu dan kayu manis, dan senyum chelsea islan, enak juga kok. Patut dicoba untuk dibuat di rumah. Walau tidak harus 'ditarik-tarik' juga pas buatnya. Mungkin coba cara lain, misalnya dijambak-jambak atau dielus-elus. *dikeplak*




*   *   *

2. Rendang Bakar RM. Serbaraso

Bukan rahasia lagi kalau masakan Padang sudah menjadi salah satu makanan favorit orang Indonesia. Dimana-mana pasti ada restoran Padang.
Dan dari sekian banyak jenis masakannya, rendang merupakan salah satu yang sangat digemari karena citarasanya yang luar biasa. Karena citarasa dan proses memasaknya yang lama, membuat harganya lebih mahal dari jenis masakan lain. Karena citarasanya itu pulalah, pada tahun 2011, rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World's 50 Most Delicious Foods dari CNN International.
Karena citarasanya itu juga yang membuat Datuk Maringgih ngebet mau menikahi Siti Nurbaya, tanpa peduli walau Gusti Randa sudah jadi anggota DPR. *dikeplak*

Namun, berbeda dengan rumah makan Padang lain, rumah makan yang berada di Jl. Batu Tulis Raya No. 41, Pecenongan ini menyediakan menu rendang unik, yaitu Rendang Bakar. Menu spesial yang diklaim sebagai yang pertama dan satu-satunya di Jakarta.

Walau perbedaan rasanya tidak terlalu signifikan dengan rendang 'konvensional', tapi rendang bakar ini menurut saya lebih enak. Tingkat kematangan dagingnya pas, tidak overcooked, sehingga tidak menjadi liat/kenyal/alot/apalah itu istilahnya, seperti yang kadang ditemukan di tempat lain.
Kalau dibuat sedikit lebih pedas lagi, pasti akan terasa lebih 'asoy'. Sangat pas 'disandingkan' dengan nasi putih hangat. Saya bahkan menghabiskan satu bakul nasi sendiri, walau hanya dengan 'seonggok' rendang bakar itu.

maaf kalau fotonya terlihat seperti 'anu'.
saya bingung cari angle yang bagus.
lihat yang bawah saja, itu dari twitter-nya serbaraso :D
rendang bakar dengan angle yang lebih 'manusiawi' [@serbaraso]
*RM Serbaraso buka setiap hari, pukul 11.00 - 22.00 WIB

*   *   *

3. Tahu Thek-Thek Cak Madjid

Berbeda dengan Mie Thek-Thek, makanan ini tidak berbahan dasar Mie tapi Tahu :D
Ini adalah masakan asli Lamongan, yang terdiri atas tahu goreng yang dipotong kecil-kecil, kentang goreng, tauge, lontong, dan disiram dengan bumbu yang terbuat dari petis, kacang tanah, cabe dan bawang putih.
Rasanya mirip ketoprak (menurut saya), yang mungkin karena kepekatan rasa bawang putihnya yang sama.


Selain Tahu Thek-Thek, warung tenda yang berada di Jl. Garuda, tak jauh dari Stasiun Kemayoran ini juga menyediakan Tahu Campur dan Rujak Cingur.

*   *   *

4. Pempek Unyil

Tempat yang menyediakan panganan khas Palembang ini, letaknya tidak jauh dari warungnya Cak Madjid, yang tidak jauh dari Stasiun Kemayoran tadi.

Saat kesini, karena ketidaktahuan saya tentang olahan dari pempek dan list menu yang tidak bergambar seperti komik dan kemalasan saya untuk bertanya, maka datanglah hidangan seperti foto di bawah ini.


Foto itu adalah menu Lenggang Goreng.
Maksud hati mencoba pempek, apalah daya telor-telor juga yang dicicip. "Seharusnya pesan yang panjang, bulat atau panjang besar berurat". Begitu kata mbak-mbak pelayan yang mirip Raisa dengan bedak sedikit lebih tebal, setelah saya tanya, sehabis makan.

Ah sudahlah. 'Dadar telor bebek dengan topping pempek' itu juga enak kok. Yah setidaknya sekarang saya pun akhirnya tahu kalau rasa telor bebek itu ternyata telor banget*dikeplak*

*   *   *

5. Kedai Nasi Kapau Bukittinggi

Kawasan Jl. Kramat Soka, Senen, sejak tahun 70-an sudah terkenal sebagai tempat makan Masakan Minang. Dan seperti yang kita ketahui pula, kalau masakan dari ranah Sumatera Barat ini juga sudah menjadi pilihan makan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia, tidak terbatas pada keturunan Malin Kundang dan Siti Nurbaya (baca: orang Padang) saja.

Dari sekian banyak tempat makan yang ada di sini (Kramat Soka), salah satunya adalah Kedai Nasi Kapau milik Pak Haji yang saya lupa namanya ini. Warung makan ini menyajikan masakan ala Kapau (nama desa di Bukittinggi, yang terkenal mewariskan resep masakan ternikmat di Sumbar).
Tapi karena sudah sering makan masakan yang lain, saya hanya mencoba dessert ala Minang saja, yaitu Es Tebak & Bubur Kampiun.

Untuk Es Tebak, menurut saya, ini adalah es cendol ala Bukittinggi. Rasa dan isiannya hampir sama, bahkan mungkin sama. Segarnya juga. Bikin adem, seperti lihat wajah Chelsea Islan :D

Sementara Bubur Kampiun, yang biasanya dijadikan sarapan, memiliki isian berupa kolak pisang, bubur candil, bubur sumsum, biji salak dan ketan, yang dilumuri dengan santan dan dicampur sedikit gula merah (kalau lidah saya tidak salah :D). Bagi yang tidak suka manis, mungkin akan kurang menyukainya, karena perpaduan antara gula merah dan ketan memang sedikit bikin enek. Tapi bisa dinetralisir dengan minum air putih, atau menambahkan es batu pada bubur kampiunnya (seperti yang saya lakukan).

Bubur Kampiun (kiri); Es Tebak (kanan)

*   *   *

6. Sabana Lamang Tapai Bukittinggi

Makanan khas dari Sumatera Barat selain Nasi Kapau, Es Tebak dan Bubur Kampiun adalah Lamang Tapai. Perpaduan antara Lamang dan Tapai.
Lamang adalah beras ketan putih yang dicampuri santan kelapa, daun pandan dan sedikit garam, yang dimasak dalam bambu muda.
Sementara Tapai adalah tape beras ketan hitam yang difermentasi dengan ragi.


*Lokasi kedai ini ada di jejeran kedai-kedai di sepanjang jalan Kramat Raya, tepat di samping flyover Senen.

*   *   *

7. Kedai Sate Padang Mak Adjat

Citarasa dari Sate Padang itu terletak pada bumbu kuah kacang kental, yang kaya akan rempah, dengan sensasi rasa pedas. Sepertinya banyak yang sudah tahu soal ini. *lalu kenapa masih saya tulis?

Sama seperti warung makan Padang, kedai-kedai Sate Padang juga bertebaran di seantero nusantara. Yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan saya, kenapa rumah makan Padang tidak ada yang menjual Sate Padang, begitupula kedai Sate Padang pasti tidak ada makanan Padang lainnya. Why? Please tell me uni.

Dan dari sekian banyak kedai sate Padang yang ada di Jakarta, salah satunya adalah Kedai Sate Mak Adjat ini. Warung tenda (gak biru), yang berdiri di trotoar Jl. Gunung Sahari Raya, di dekat prapatan (yang saya tidak tahu namanya), di seberang Hotel Golden Boutique, di depan Bank Danamon, di samping toko kamera Octagon.
Warung ini baru mulai buka saat maghrib, saat macet yang melanda Kota Jakarta sedang parah-parahnya, sampai abang tukang bajaj pun mati kutu.

Wangi rempah akan langsung tercium saat masuk ke dalam kedai.
Seporsi sate lidah sapi, dengan ukuran per potong yang cukup besar (tidak setipis biasanya) akan segera 'meluncur' ke depan muka untuk disantap (setelah dipesan dulu tentunya :p).
Tingkat kematangan dagingnya pas, jadi terasa sangat lunak, tidak sekeras batu bata. Bumbunya tidak kental. Agak sedikit berair, dengan sedikit rasa asam. Pedasnya pas, nampol kiri kanan. Taburan bawang goreng menambah citarasa. Dan segarnya es kelapa muda pun menjadi pendamping yang ciamik.


Kali ini adalah yang ketujuh kalinya saya ke kedai sate ini. Enam kesempatan sebelumnya pada tahun 2011 lalu, bersama seseorang yang entah sekarang menjadi 'milik' siapa. Orang yang kemudian menyadari ke-khilafan-nya bersama saya, setelah tiga bulan lamanya, dan lalu pergi begitu saja.

Ah, kenapa saya malah curhat di posting-an rekomendasi tempat makan ini coba. Penutup tulisan yang sungguh tak layak, padahal blog ini ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia :p
Sudahlah.
Yuk mari makan kaka!



Tabe!

Sabtu, 12 Desember 2015

[Photo]: Sudut - Sudut Braga

Ah masih kuingat indahnya semalam
Waktu gadis itu memeluk erat lenganku
Beriringan menikmati gemerlapnya Braga
Dan ku yakin dia kan merindukanku
Setelah kemesraan malam tadi
Saat ku kan berlalu darinya
Dia mendaratkan ciuman dan berujar lembut
"Kembalilah ke kota ini lagi"
Ku lemparkan setangkai bunga mawar
Berbalik, lalu berucap selamat tinggal

Puisi yang berjudul Bandung, Awal Januari itu saya buat untuk mengenang sebuah kisah, disuatu waktu, di salah satu sisi Bandung ini. Di kota Paris van Java. Kota dimana you can find neng-neng geulis modis in the angkot.
Sok atuh dinikmati 'seuprit' potret Braga di bawah ini. Mangga! harum manis






Neng, tunggu akang atuh!

Neng, tunggu akang atuh!

Neng, tunggu akang atuh!
cie cie
*Bonus*  Museum Konferensi Asia Afrika
*Bonus*  Supermodel Jagat Raya :p


Tabe!


*Jangan diambil tanpa izin ya semua foto abal-abal hasil karya agung Kaka Chivo ini. Nanti masuk NERAKA! #Disclaimer