Selasa, 28 April 2015

Kuliner di Purwakarta

Siapapun yang sedang berkunjung ke suatu daerah tertentu, salah satu yang dilakukan biasanya adalah berburu kuliner setempat, untuk sekedar memuaskan hasrat lidah dan nafsu syahwat isi perut.
Nah berhubung saya juga manusia, yang lucu dan menggemaskan, itu pulalah yang saya lakukan saat bolak-balik ke Purwakarta untuk urusan kantor.
Berikut 6 kuliner yang pernah saya coba di sana :

1. SIMPING KAUM

Berhubung saya adalah laki-laki yang baik hati, imut, lucu dan menggemaskan, saat ke Purwakarta saya sempat membelikan oleh-oleh buat teman-teman kantor. Nah ini (satu-satunya) oleh-oleh yang saya beli itu, karena unsur MURAH yang terkandung didalamnya :p

Simping merupakan kudapan khas dari daerah ini. Bentuknya berupa lembaran pipih, bundar tipis, umumnya berwarna putih, mirip dengan lembaran yang dipakai untuk menjepit gulali (rambut-rambutan). Simping dibuat dari tepung beras yang diberi beberapa bumbu. Terdiri dari beberapa rasa, seperti keju, kencur, jahe, strawberry, coklat, cabe cabean, bawang, dll.


Panganan ringan ini bisa didapatkan di toko oleh-oleh di seantero Purwakarta. Hanya saja, daerah Kaum (di sekitar alun-alun kota) merupakan sentra pembuatannya (katanya), jadi bisa lebih MURAH ;)
Rasanya yang gurih, walau terlalu 'ringan' (di lidah saya), patut untuk dicoba.

2. SATE MARANGGI CIBUNGUR

Sesuai dengan namanya, warung ini memang menyajikan sate maranggi sebagai menu andalannya. Letaknya sangat strategis, berada di Jl. Raya Cibungur Purwakarta, hanya sekitar 2 KM dari pintu tol Cikampek.

Sama seperti simping, sate maranggi juga adalah makanan khas Purwakarta. Bahan bakunya menggunakan daging sapi dan kambing muda, bukan janda muda. Daging tersebut diberi bumbu rempah, sebelum dibakar di atas bara.
Namun berbeda dengan di tempat lain, Sate Maranggi Cibungur ini tidak dihidangkan dengan bumbu kecap yang dicampur dengan bawang merah, bawang putih dan cabe rawit, melainkan hanya dengan irisan tomat segar dicampur cabe merah yang diulek kasar, itupun terpisah dari satenya.

Gelap. Maaf! :D
Tekstur keringnya ini membuat bumbu rempah pada daging sangat terasa sekali. Daging yang lembut dan gurih, berpadu dengan segarnya tomat dan cabe merah yang pedasnya pas, menjadi kombinasi yang ciamik di lidah. Bangku yang sangat jarang kosong, menjadi bukti sahih ke-maknyos-annya.

Selain menu andalan yaitu sate maranggi dan es kelapa, yang sudah jadi pasangan tak terpisahkan bak Sukmono dan Maryati, di sini tersedia pula menu-menu lain seperti ayam bakar, ikan bakar, pepes, sop, gulai, juice, es, kopi, dll.

3. SOTO SADANG ASLI

Rumah makan yang merupakan usaha keluarga turun temurun sejak 1972 ini, ada di Jl. Veteran No. 12, Sadang, Purwakarta. Diberi nama Soto Sadang karena awal didirikannya di dekat kolong jembatan kereta api Sadang. Sedangkan embel-embel Asli dibelakangnya karena mereka menggunakan ayam kampung, bukan ayam kampus. Bahkan nama Soto Sadang Asli ini sudah dipatenkan oleh mereka.

Menu soto yang ditawarkan di sini cukup banyak, seperti soto ayam kampung, soto daging, soto babat, soto kikil, soto buntut, soto ayam ras dan soto campur. Selain itu ada juga menu lain seperti goreng kalilipa, goreng ayam kampung, nasi goreng, mie goreng, dll. Aneka minuman penghilang seret juga tersedia.
Masing-masing soto yang disajikan terbagi dua yaitu dengan santan dan bening. Jadi tinggal pilih sesuai selera.


Sekilas, tampilan dari soto yang bersantannya mirip Soto Betawi dan Soto Bogor, karena kuahnya sama-sama full santan, gak bening =)))
Irisan daun bawang, tomat, bawang goreng dan emping diatasnya sangat menggugah selera. Kuahnya terasa gurih gurih segar maknyus (katanya rasa gurih itu dari kaldu daging yang tanpa vetsin). Dagingnya juga begitu empuk (walau tetap bikin keselek kalau langsung ditelan tanpa dikunyah dulu).

4. RM CIGANEA

Rumah makan yang sudah berdiri sejak 1981 ini berada di Jl. Pemuda No. 31, tepat setelah gerbang tol Ciganea. Ini adalah rumah makan Sunda, jadi yang dijual pasti masakan Sunda, bukan Madagaskar.
Tipikal rumah makan Sunda, semua menu akan langsung disajikan di meja, dan kita tinggal memilih mau makan apa. Kecuali jika perut Anda selebar Sungai Nil dan dompet Anda setebal selulit para sumo, baru boleh menghabiskan semua yang ada.

Saya sendiri saat kesini mencoba menu pepes ayam dan ayam gorengnya.

Pepes Ayam
Ayam Goreng
Pepesnya enak. Daging ayamnya empuk. Bumbu-bumbu meresap sempurna. Aroma daun jeruk, sereh dan kemangi, begitu menggugah selera.
Ayam gorengnya juga empuk. Rasanya beda dengan ayam goreng lain, yang mungkin karena faktor olahan bumbu yang berbeda (walau rasanya tetap seperti daging ayam). Sayangnya agak kurang menggoyang lidah (lidah saya).
Sambal cocolnya juga kurang pedas. Gak nendang.

*selain masakan Sunda, disini juga ada sop iga, es kelapa dan kopi Ciganea.

5. WARUNG & LESEHAN SUNDA SAMBEL HEJO

Rumah makan ini berada tepat di sebelah RM Ciganea, dan juga sama-sama menyajikan masakan Sunda, bukan Madagaskar. Desain interiornya bernuansa etnik, dengan pajangan benda-benda lawas (jadul). Alunan musik Sunda yang diputar, menambah kesan etnik itu.

Di sini ada satu menu yang namanya bikin penasaran, yaitu Ayam Goreng Basah seluruh tubuh ah ah ah mandi madu. Namun setelah saya perhatikan, sebenarnya sama saja seperti ayam goreng biasa, yang digoreng setelah diungkep dengan campuran bumbu-bumbu. Hanya saja disini ayamnya tidak digoreng  sampai kering, tapi dibiarkan 'berlumuran' minyak.
Tekstur dagingnya lembut. Bumbunya pas dan meresap sempurna. Jadi biar pun 'berlumuran' minyak, tidak bikin enek. Selain itu, ada sedikit rasa manis di ujung lidah saat mengunyah.
Walau sambel hejonya tidak pedas sama sekali, tapi sangat pas dipadankan dengan ayam gorengnya.
Kekurangannya cuma ukuran per potongnya yang tidak terlalu besar. Walaupun banyak orang yang bilang size is doesn't matter, tapi kalau kekecilan juga kumaha atuh kang. Gak berasa. Tau-tau habis.


Btw, di satu piring itu ayamnya tidak dihitung satu porsi, tapi per potong. Jadi kalau ada 5 potong di piring, dan di makan semuanya, akan dikali 5 ditambah X dibagi Y dikurangi Z pas bayar.

*warung ini sudah membuka beberapa cabang, yang salah satunya ada di Jl. Tebet Timur Dalam II No. 34, Jakarta.

6. ES CIMING

Info tentang tempat ini saya dapat dari acara di salah satu stasiun TV swasta.
Berada di tengah padatnya ruko-ruko di Jl. Jend. Sudirman, tepatnya No. 117 (daerah Pasar Jumat), warung yang tidak seberapa besar itu kemungkinan sulit untuk ditemukan kalau mencari sendiri. Letaknya tidak jauh dari Patung Jend. Sudirman. Tinggal ditanya saja kalau sudah di sekitar situ. Semua orang pasti tahu, karena sepertinya warung ini sudah terkenal di sini.

Es Ciming ini sebenarnya adalah es campur. Nama Ciming diambil dari nama pemilik warung tersebut, yang adalah seorang keturunan Tionghoa. Dari spanduk besar di dalamnya, tertulis kalau warung ini sudah berdiri sejak tahun 1970 dan merupakan usaha turun temurun.
Warung yang setiap harinya buka dari pukul 09.30 - 21.00 ini, memiliki menu andalan selain Es Campur, yaitu Batagor Goreng. Namun ada juga menu-menu lain seperti Mpek Lenjar, Mpek Selam, dan Mpek Lenggang.

Es Ciming
Batagor Goreng

Tabe!


PS :
- Soal rasa, setiap orang pasti berbeda-beda. Yang menurut saya enak/tidak enak, belum tentu orang lain juga merasakan yang sama. Jadi ada baiknya dicoba saja dulu :D
- Kalau ada rekomendasi tempat makan lain (di Purwakarta/daerah lain), bolehlah kita menumpang mandi ditulis di komentar, biar bisa saya jajal juga :D

Sabtu, 11 April 2015

Perjalanan 'Si Bolang' ke Kaki Gunung Parang

Tugas kantor keluar kota, selalu menyenangkan bagi saya. Selain bisa menghilangkan rasa jenuh akibat 'kubikel syndrome', saya yang hobi jalan-jalan ini juga bisa berwisata colongan sesuka hati. Makanya saya selalu lebih memilih naik angkutan umum daripada mobil kantor, agar waktu buat jalan-jalannya bisa lebih banyak. Toh akomodasi 'ditanggung' kantor ini :D

Begitu juga dengan tugas ke kota Purwakarta. Walau harus rela bangun lebih pagi dari biasanya, karena harus mengejar KA Serayu Pagi, antusiasme saya tetap tinggi.
Sudah beberapa tempat di daerah ini yang saya datangi, dari 7-8 kali saya kesana. Situ Wanayasa, Waduk Jatiluhur, Waduk Cirata, dan juga tempat-tempat makannya.

Stasiun_Kereta Api_Purwakarta
Stasiun Purwakarta
Situ Wanayasa
Waduk Jatiluhur
Waduk Cirata
Terakhir saya pergi ke daerah kaki Gunung Parang, tepatnya di Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kec. Tegalwaru. Perjalanan yang menyenangkan dan seru sekali.
Pertama kali mengetahui tempat ini saat perjalanan menuju Waduk Cirata. Ada satu papan penunjuk arah kecil bertuliskan "Wisata Badega Gunung Parang", yang terlihat sepintas dari atas angkot yang saya naiki.
Baru 22 Desember lalu saya berkesempatan kesana.

Setelah urusan pekerjaan beres, saya langsung bergegas kesana, mengingat pukul 3 nanti harus sudah pulang kembali ke Jakarta dengan kereta yang sama.
Singkat cerita, akhirnya turunlah saya di tempat yang dulu saya lihat itu, setelah 40 menit perjalanan. Sesuai kebiasaan, saya pun jalan kaki melewati jalan yang ditunjuk oleh papan kecil tersebut. Banyak truk-truk besar yang lalu lalang.
Setelah kira-kira 25 meter berjalan, saya memutuskan untuk naik ojek saja. Purwakarta di siang hari ternyata jauh lebih panas dari planet Bekasi. Tapi saya akhirnya tahu kalau jalannya bukan lewat sini, setelah si tukang ojek bilang, "kampung cihuni mah jauh kang dari sini. Saya antar ke Pasar Plered aja kang, nanti saya tunjukkan angkot kesananya". Okeh, saya SALAH JALAN. Tapi tak apa, kata Chrisye salah jalan pasti berlalu kok.

Akhirnya setelah menolak rayuan maut si tukang ojek, saya jalan kembali ke jalan besar dan naik angkot lagi ke Pasar Plered. Dan ternyata benar, ada mobil kijang dan carry pribadi yang dijadikan angkutan khusus menuju daerah Gunung Parang.

wujud si angkot
Setelah menunggu 20 menit, baru mulai berangkat.
Pukul 11.20, masih 3,5 jam lagi. Santai.
Mobil kecil, penuh orang, pengap, ditambah panasnya Purwakarta, membuat saya serasa sedang terapi di sauna, dengan aroma sayur-sayuran.
Pemandangan yang sama seperti tadi (di jalan yang salah). Di sepanjang perjalanan selalu beriringan dan berpapasan dengan truk-truk besar. Namun, semakin keatas semakin menenangkan hati. Udaranya mulai adem, kiri kanan kulihat saja banyak sawah-sawah terhampar. Setelah mendekati Kampung Cikandang, baru mulai terlihat Gunung Parang yang berdiri tegak menjulang ke langit seperti sebuah monumen batu raksasa. Warna hitam dindingnya terlihat kontras dengan hijaunya hamparan sawah, dan warna merah atap rumah penduduk desa di bawah kaki gunung itu.

Sampai di Badega Gunung Parang sekitar pukul 12.30. Itu berarti saya cuma ada waktu setengah jam lagi disini, karena lama pulangnya (sampai Stasiun Purwakarta) pasti 2 jam juga. Okeh aku rapopo!
Di Badega saya bertemu dengan pengelolanya bernama Kang Dede. Dari obrolan dengan dia lah, saya akhirnya tahu kalau Badega Gunung Parang ini sebenarnya khusus buat para pemanjat tebing (lokal/asing), yang mau mencoba memanjat dinding Gunung Parang yang menantang. Bahkan katanya, tempat ini menjadi surga bagi mereka, karena Gunung Parang hampir mirip dengan Yosemite di Amerika atau Trango Tower di Pakistan.
Bonusnya adalah keunikan dan keindahan alam di sekitar kaki Gunung Parang ini, seperti sawah berumpak, kehidupan kampung yang masih bernuansa tradisional, dan lain-lain. Udara yang segar juga membuat betah.

Di sini juga disiapkan Bale Ngaso. Saung-saung sederhana (terbuka) bagi yang ingin menginap dan merasakan malam di kaki gunung.
Tak lama mengobrol, hujan turun dengan derasnya di bulan Desember, membasahi bumi Cihuni. Untung Kang Dede menyuguhkan segelas kopi panas untuk saya nikmati.
Hujan.
Kopi panas.
Padanan yang sangat pas. Kurang ceweknya saja ini mah :p
Sayang, gara-gara hujan, niat untuk sedikit mencoba panjat tebing di sini jadi batal, karena dinding gunung yang pasti sangat licin. Kata Kang Dede, "nanti kamu terjatuh, tak bisa bangun lagi, tenggelam dalam lautan luka dalam dan tersesat tak tau arah jalan pulang". Okeh aku rapopo!


Ó Rahmat Hadi (kompasiana)
Jam 2 siang setelah hujan reda, saya pamit pulang, dan memutuskan untuk jalan kaki menyusuri kampung sambil menunggu datangnya angkot. Sudah pasrah ketinggalan KA Serayu dan terpaksa harus naik KA lokal terakhir yang jam 5 sore (seingat saya).

Pemandangan yang asri dan segarnya udara pegunungan, yang tidak pernah didapatkan di Jakarta bahkan kota Purwakarta sekalipun, membuat saya tidak sadar kalau sudah satu jam berjalan dan entah sudah berapa kilo jauhnya, juga angkot yang tak kunjung menampakkan bemper manisnya.
Tapi saya masih santai (berharap ini tak akan lama), sambil mengambil foto dan bercanda bersama beberapa anak-anak kampung sekitar. Baru setelah bocah-bocah itu pergi, saya mulai panik, karena angkotnya belum datang juga dan saya sendirian di pinggir sawah yang tak tau siapa tuannya ini.
Beruntung akhirnya ada satu angkot yang datang. Walau katanya hanya sampai Kampung Cikakak, dan saya tidak tahu dimana tepatnya kampung itu, tapi tidak apalah daripada saya mesti menginap di tempat ini. Mungkin kalau besoknya tidak ada kerjaan yang menanti di kantor, pasti saya akan dengan senang hati menginap. Betah dengan suasananya :D





Bahagia itu sederhana :)
Sampai di Cikakak, setelah berjalan sekitar 20 meter, lunglai tak berdaya, akhirnya ada truk yang bangku sebelahnya kosong mau berhenti saat melihat saya mengangkat tangan minta numpang. Puji Tuhan!
Berbadan tegap, memakai singlet dan selalu mengumbar senyuman saat mengobrol. Itulah sosok Kang Aan 'Sang Penyelamatku'. Terimakasih Kang!
Ceritanya soal 'retribusi' kepada orang-orang yang neneknya adalah pemilik sepanjang jalan saat mengangkut kerikil, yang setiap harinya bisa sampai 160ribu itu cukup membuat saya merasa simpati.

tampilan truk Kang Aan.
Orangnya gak bisa difoto, coz malu mintanya :D
Setengah lima sore, saya sampai di Pasar Plered, lalu kembali melanjutkan ke Purwakarta, dan terpaksa naik bis ke Terminal Kp. Rambutan (Jakarta), karena sudah tidak ada lagi keretanya. Ternyata kereta lokal terakhir pukul 16.15, sementara saya baru sampai stasiun pas maghrib. Okeh aku rapopo!


Sebuah perjalanan, apapun cerita dibaliknya,
akan selalu memberi kesan tersendiri bagi si pejalan itu



Tabe!

PS :

  • Di Badega Gunung Parang ada 3 tower panjat tebing. Tidak cuma yang sudah profesional, pemanjat pemula dan menengah pun boleh memanjat di sini, karena banyak ahli panjat tebing yang siap membantu, salah satunya Kang Dede. Disini ibarat sekolah panjat tebing katanya.
  • Sebaiknya menginap. Suasana pagi di kampung mungkin lebih syahdu :D
  • Selain Gunung Parang, ada juga Wisata Alam Gunung Bongkok, yang kata si sopir angkot viewnya lebih bagus.
  • Jalanan agak rusak, jadi kalau kesana pakai mobil, pastikan mobilnya tahan banting :p
  • Semua foto hasil jepretan saya sendiri menggunakan kamera HP Samsung Galaxy Grand GT-I9082 #disclaimer