Sabtu, 11 April 2015

Perjalanan 'Si Bolang' ke Kaki Gunung Parang

Tugas kantor keluar kota, selalu menyenangkan bagi saya. Selain bisa menghilangkan rasa jenuh akibat 'kubikel syndrome', saya yang hobi jalan-jalan ini juga bisa berwisata colongan sesuka hati. Makanya saya selalu lebih memilih naik angkutan umum daripada mobil kantor, agar waktu buat jalan-jalannya bisa lebih banyak. Toh akomodasi 'ditanggung' kantor ini :D

Begitu juga dengan tugas ke kota Purwakarta. Walau harus rela bangun lebih pagi dari biasanya, karena harus mengejar KA Serayu Pagi, antusiasme saya tetap tinggi.
Sudah beberapa tempat di daerah ini yang saya datangi, dari 7-8 kali saya kesana. Situ Wanayasa, Waduk Jatiluhur, Waduk Cirata, dan juga tempat-tempat makannya.

Stasiun_Kereta Api_Purwakarta
Stasiun Purwakarta
Situ Wanayasa
Waduk Jatiluhur
Waduk Cirata
Terakhir saya pergi ke daerah kaki Gunung Parang, tepatnya di Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kec. Tegalwaru. Perjalanan yang menyenangkan dan seru sekali.
Pertama kali mengetahui tempat ini saat perjalanan menuju Waduk Cirata. Ada satu papan penunjuk arah kecil bertuliskan "Wisata Badega Gunung Parang", yang terlihat sepintas dari atas angkot yang saya naiki.
Baru 22 Desember lalu saya berkesempatan kesana.

Setelah urusan pekerjaan beres, saya langsung bergegas kesana, mengingat pukul 3 nanti harus sudah pulang kembali ke Jakarta dengan kereta yang sama.
Singkat cerita, akhirnya turunlah saya di tempat yang dulu saya lihat itu, setelah 40 menit perjalanan. Sesuai kebiasaan, saya pun jalan kaki melewati jalan yang ditunjuk oleh papan kecil tersebut. Banyak truk-truk besar yang lalu lalang.
Setelah kira-kira 25 meter berjalan, saya memutuskan untuk naik ojek saja. Purwakarta di siang hari ternyata jauh lebih panas dari planet Bekasi. Tapi saya akhirnya tahu kalau jalannya bukan lewat sini, setelah si tukang ojek bilang, "kampung cihuni mah jauh kang dari sini. Saya antar ke Pasar Plered aja kang, nanti saya tunjukkan angkot kesananya". Okeh, saya SALAH JALAN. Tapi tak apa, kata Chrisye salah jalan pasti berlalu kok.

Akhirnya setelah menolak rayuan maut si tukang ojek, saya jalan kembali ke jalan besar dan naik angkot lagi ke Pasar Plered. Dan ternyata benar, ada mobil kijang dan carry pribadi yang dijadikan angkutan khusus menuju daerah Gunung Parang.

wujud si angkot
Setelah menunggu 20 menit, baru mulai berangkat.
Pukul 11.20, masih 3,5 jam lagi. Santai.
Mobil kecil, penuh orang, pengap, ditambah panasnya Purwakarta, membuat saya serasa sedang terapi di sauna, dengan aroma sayur-sayuran.
Pemandangan yang sama seperti tadi (di jalan yang salah). Di sepanjang perjalanan selalu beriringan dan berpapasan dengan truk-truk besar. Namun, semakin keatas semakin menenangkan hati. Udaranya mulai adem, kiri kanan kulihat saja banyak sawah-sawah terhampar. Setelah mendekati Kampung Cikandang, baru mulai terlihat Gunung Parang yang berdiri tegak menjulang ke langit seperti sebuah monumen batu raksasa. Warna hitam dindingnya terlihat kontras dengan hijaunya hamparan sawah, dan warna merah atap rumah penduduk desa di bawah kaki gunung itu.

Sampai di Badega Gunung Parang sekitar pukul 12.30. Itu berarti saya cuma ada waktu setengah jam lagi disini, karena lama pulangnya (sampai Stasiun Purwakarta) pasti 2 jam juga. Okeh aku rapopo!
Di Badega saya bertemu dengan pengelolanya bernama Kang Dede. Dari obrolan dengan dia lah, saya akhirnya tahu kalau Badega Gunung Parang ini sebenarnya khusus buat para pemanjat tebing (lokal/asing), yang mau mencoba memanjat dinding Gunung Parang yang menantang. Bahkan katanya, tempat ini menjadi surga bagi mereka, karena Gunung Parang hampir mirip dengan Yosemite di Amerika atau Trango Tower di Pakistan.
Bonusnya adalah keunikan dan keindahan alam di sekitar kaki Gunung Parang ini, seperti sawah berumpak, kehidupan kampung yang masih bernuansa tradisional, dan lain-lain. Udara yang segar juga membuat betah.

Di sini juga disiapkan Bale Ngaso. Saung-saung sederhana (terbuka) bagi yang ingin menginap dan merasakan malam di kaki gunung.
Tak lama mengobrol, hujan turun dengan derasnya di bulan Desember, membasahi bumi Cihuni. Untung Kang Dede menyuguhkan segelas kopi panas untuk saya nikmati.
Hujan.
Kopi panas.
Padanan yang sangat pas. Kurang ceweknya saja ini mah :p
Sayang, gara-gara hujan, niat untuk sedikit mencoba panjat tebing di sini jadi batal, karena dinding gunung yang pasti sangat licin. Kata Kang Dede, "nanti kamu terjatuh, tak bisa bangun lagi, tenggelam dalam lautan luka dalam dan tersesat tak tau arah jalan pulang". Okeh aku rapopo!


Ó Rahmat Hadi (kompasiana)
Jam 2 siang setelah hujan reda, saya pamit pulang, dan memutuskan untuk jalan kaki menyusuri kampung sambil menunggu datangnya angkot. Sudah pasrah ketinggalan KA Serayu dan terpaksa harus naik KA lokal terakhir yang jam 5 sore (seingat saya).

Pemandangan yang asri dan segarnya udara pegunungan, yang tidak pernah didapatkan di Jakarta bahkan kota Purwakarta sekalipun, membuat saya tidak sadar kalau sudah satu jam berjalan dan entah sudah berapa kilo jauhnya, juga angkot yang tak kunjung menampakkan bemper manisnya.
Tapi saya masih santai (berharap ini tak akan lama), sambil mengambil foto dan bercanda bersama beberapa anak-anak kampung sekitar. Baru setelah bocah-bocah itu pergi, saya mulai panik, karena angkotnya belum datang juga dan saya sendirian di pinggir sawah yang tak tau siapa tuannya ini.
Beruntung akhirnya ada satu angkot yang datang. Walau katanya hanya sampai Kampung Cikakak, dan saya tidak tahu dimana tepatnya kampung itu, tapi tidak apalah daripada saya mesti menginap di tempat ini. Mungkin kalau besoknya tidak ada kerjaan yang menanti di kantor, pasti saya akan dengan senang hati menginap. Betah dengan suasananya :D





Bahagia itu sederhana :)
Sampai di Cikakak, setelah berjalan sekitar 20 meter, lunglai tak berdaya, akhirnya ada truk yang bangku sebelahnya kosong mau berhenti saat melihat saya mengangkat tangan minta numpang. Puji Tuhan!
Berbadan tegap, memakai singlet dan selalu mengumbar senyuman saat mengobrol. Itulah sosok Kang Aan 'Sang Penyelamatku'. Terimakasih Kang!
Ceritanya soal 'retribusi' kepada orang-orang yang neneknya adalah pemilik sepanjang jalan saat mengangkut kerikil, yang setiap harinya bisa sampai 160ribu itu cukup membuat saya merasa simpati.

tampilan truk Kang Aan.
Orangnya gak bisa difoto, coz malu mintanya :D
Setengah lima sore, saya sampai di Pasar Plered, lalu kembali melanjutkan ke Purwakarta, dan terpaksa naik bis ke Terminal Kp. Rambutan (Jakarta), karena sudah tidak ada lagi keretanya. Ternyata kereta lokal terakhir pukul 16.15, sementara saya baru sampai stasiun pas maghrib. Okeh aku rapopo!


Sebuah perjalanan, apapun cerita dibaliknya,
akan selalu memberi kesan tersendiri bagi si pejalan itu



Tabe!

PS :

  • Di Badega Gunung Parang ada 3 tower panjat tebing. Tidak cuma yang sudah profesional, pemanjat pemula dan menengah pun boleh memanjat di sini, karena banyak ahli panjat tebing yang siap membantu, salah satunya Kang Dede. Disini ibarat sekolah panjat tebing katanya.
  • Sebaiknya menginap. Suasana pagi di kampung mungkin lebih syahdu :D
  • Selain Gunung Parang, ada juga Wisata Alam Gunung Bongkok, yang kata si sopir angkot viewnya lebih bagus.
  • Jalanan agak rusak, jadi kalau kesana pakai mobil, pastikan mobilnya tahan banting :p
  • Semua foto hasil jepretan saya sendiri menggunakan kamera HP Samsung Galaxy Grand GT-I9082 #disclaimer

3 komentar:

  1. Hi Mas!
    Mau numpang tanya. Awal februari besok saya ada rencana solo traveling ke Purwakarta. Ada rekomendasi penginapan murah bersih di pusat kota Purwakarta ga? Soalnya sy cek di Agoda dan booking hanya ada tiga. Itu jg udh pada mau penuh :').. Kemudian mau tanya untuk angkutan umumnya. Kalau mau jalan2 ke situ buleut, giri tirta, waduk jatiluhur, waduk satu lg (lupa namanya) bisa pake angkutan umum ga ya? Trus kotanya aman ga buat perempuan? Btw maap nanyanya kebanyakan hahaha.. Makasih Mas!

    BalasHapus
  2. Hi Mas!
    Mau numpang tanya. Awal februari besok saya ada rencana solo traveling ke Purwakarta. Ada rekomendasi penginapan murah bersih di pusat kota Purwakarta ga? Soalnya sy cek di Agoda dan booking hanya ada tiga. Itu jg udh pada mau penuh :').. Kemudian mau tanya untuk angkutan umumnya. Kalau mau jalan2 ke situ buleut, giri tirta, waduk jatiluhur, waduk satu lg (lupa namanya) bisa pake angkutan umum ga ya? Trus kotanya aman ga buat perempuan? Btw maap nanyanya kebanyakan hahaha.. Makasih Mas!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo penginapan sih saya kurang tau krn tiap kali ke Purwakarta ga pernah nginap. Pulang pergi aja sehari gitu.
      Situ Buleut didekat alun2 Purwakarta. Klo naik kereta, bisa jalan kaki. Cm sekitar 700 meter dr stasiun. Didekat situ jg ada satu hotel. Angkot yg lewat situ ada 01, 02. Atau naik angkot nomor brapa aja, tp yg lewat Pasar Rebo. Situ-nya cm 500 meteran dr pasar. Jadi dia ada ditengah2 antara stasiun - pasar.
      Waduk Jatiluhur bs naik dr Pasar Rebo. Saya lupa nomornya. Nah klo Giri Tirta, sy belum kesana, tp klo ga salah dia ada di area Jatiluhur jg deh.
      Ada Waduk Cirata sih. Naik angkotnya jg bisa dr Pasar Rebo. Maaf sy lupa jg nomornya. Angkotnya yg ke arah Plered. Nanti pas di Pasar Plered, nyambung angkot lagi ke arah Cirata. Bilang aja turun di Waduk Cirata. Kelihatan sih waduknya, krn lewat persis disitu.
      Itu aja sih, mudah2an bisa membantu :D

      Hapus