Kamis, 25 Juni 2015

Meneropong Jakarta dari Puncak Monas

"Belum afdol kalau ke Jakarta gak ke Monas"

Ungkapan itu selalu terdengar bila ada yang bepergian ke Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta ini. Wajar memang, karena Monumen Nasional (selanjutnya disebut Monas saja) merupakan satu dari empat ikon wisata di Jakarta, bersama Kota Tua, Taman Mini Indonesia Indah dan Dufan Ancol (menurut saya). Ditambah bonus tempat selfie sejuta umat, Bundaran Hotel Indonesia dengan Patung Selamat Datang-nya.
Sisanya paling wisata sejarah ke museum-museum (yang biasanya sepi peminat), wisata belanja, wisata kuliner dan wisata malam (bagi pecinta nikmat dunia :p). Makanya kalau tidak tinggal di sini, Jakarta mungkin adalah tempat di Indonesia yang ada di daftar paling bawah untuk saya kunjungi. Apalagi Kali Ciliwung kan tidak seindah Kaliurang dan Kalipornia :p

Namun, 'benda panjang' yang berdiri di pusat Kota Jakarta, yang begitu keras berotot tinggi menjulang dengan lidah api berlapis emas diujungnya ini, bukanlah hanya ikon Jakarta saja, tapi juga merupakan ikon Indonesia. Karena pembangunan Monas yang diperintahkan oleh Presiden Soekarno ini, bertujuan untuk mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi yang akan datang.


Rancang bangunnya berdasarkan konsep pasangan universal yang abadi; Lingga dan Yoni.
Lingga si cowok, digambarkan lewat tugu obelisk yang menjulang tinggi, yang menunjukkan elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif, tidak alay. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah Yoni si cewek, yang menunjukkan elemen feminin yang pasif dan negatif (sebelum semangat emansipasi wanita merubah mereka).
Berarti dapat disimpulkan kalau rancang bangun Monas ini bergaya misionaris. Cowok di atas, cewek di bawah :p

Saya sendiri sudah sering berkunjung ke Monas. Tapi hanya duduk-duduk bego di sekitar area taman saja, sekedar menikmati senja, hingga malam tiba, sambil meremas-remas .................................. cup mie gelas sehabis dimakan :p
Kadang suka lari-lari pagi juga di sini, dan sempat beberapa kali menjajal lapangan futsalnya. Sementara untuk naik ke Tugu Monas sendiri, baru beberapa minggu yang lalu akhirnya ada kesempatan 'menjajalnya', memanfaatkan 'waktu luang' sebelum ke Wisma Mandiri untuk urusan pekerjaan.

Berdalih ingin melihat konstruksi bangunan monumen, untuk bahan mengerjakan tugas kuliah arsitektur, saya melenggang mulus dengan tiket mahasiswa di tangan (walaupun tiket orang dewasa juga murah sebenarnya :D).
Setelah melewati koridor bawah tanah yang panjang dengan pencahayaan yang bagus, saya 'disambut' halaman luas, yang sepertinya tidak bisa ditiduri Syahrini karena tidak ada bunga-bunga dan rumput, hanya dihiasi relief sejarah Indonesia di keempat sisi dindingnya.
Selain di relief itu, sejarah Indonesia juga bisa dilihat di dalam ruang Museum Sejarah Nasional Indonesia (bagian paling dasar dari Tugu Monas), lewat 51 diorama yang ada di sana. Sementara 'jantungnya' Monas (sebutan saya sendiri), adalah Ruang Kemerdekaan yang ada di bagian dalam cawan, karena menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia, seperti; naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lambang negara Indonesia Garuda Pancasila yang berlapis emas, peta kepulauan NKRI berlapis emas, dan bendera pusaka Sang Saka Merah Putih (sekarang disimpan di dalam kotak saja, diganti dengan tulisan naskah Proklamasi berhuruf perunggu).

ki-ka : relief sejarah Indonesia, museum sejarah nasional, ruang kemerdekaan
Untuk mencapai pelataran puncak dan meneropong Jakarta, harus naik lewat sebuah lift yang ada di pintu sisi selatan, yang berkapasitas 11 orang sekali angkut. Dari sanalah kita bisa 'menelanjangi' Jakarta sebulat-bulatnya. Semua terpampang nyata.
Istana Negara terlihat anggun dibalik pepohonan. Gedung-gedung bertingkat sepanjang jalur Thamrin - Sudirman berjejer rapi, berlatarkan birunya langit. Sementara di kiri kanannya 'bertebaran' rumah-rumah penduduk beratap genteng, yang terlihat seperti barisan semut-semut merah di dinding sekolah, yang membuat malu Obbie Mesakh saat menanti pacarnya. Teluk Jakarta nun jauh di sana pun samar-samar terlihat.



Di setiap sudut pelataran puncak Monas ini disediakan teropong, agar bisa meneropong Jakarta lebih dekat lagi. Bisa melihat kapal-kapal di pesisir utara sana. Gunung Salak di Bogor juga bisa terlihat kalau cuaca lagi cerah tak berawan. Kalau titik koordinatnya pas, dengan teropong ini juga bisa melihat gadis-gadis Uzbek di Alexis.
Dari sini pun saya akhirnya tahu, kalau ternyata benar kata orang-orang. Dengan melihat dari sedotan, semua orang yang ada di bawah sana terlihat cantik dan tampan semua bak dewa dewi kahyangan. *dikeplak



Namun yang terpenting, dari kegiatan meneropong Jakarta di puncak Monas ini, saya pun akhirnya menyadari satu hal, yaitu bahwa : JAKARTA BUTUH POHON.



Benar-benar 'fakir hutan' kota megapolitan kebanggaan JakMania ini. Bahkan dari puncak Monas pun, persis hanya disekitaran Taman Monas saja yang pohonnya bisa terlihat. Sementara hutan kota yang katanya ada sekitar 59 lokasi itu, terhalang kedigdayaan 'hutan beton' yang sampai saat ini masih sangat masif pembangunannya.
Bagaimana kota ini tidak akan mengalami krisis air tanah, kalau airnya 'dihisap' terus oleh gedung-gedung itu, sementara 'pemasoknya' sendiri dibabat setiap saat.
Dengan minimnya pepohonan, sebenarnya kota ini juga panasnya sama seperti Bekasi. Tapi dengan berlindung di bawah AC ber-PK tinggi, para penghuni Jakarta mem-bully panasnya Bekasi.

Ah sudahlah, kota ini memang penuh ironi, tapi selalu di hati dan dicintai.



Tabe!


PS :
- Sejarah Monas lebih lengkap bisa dibaca di sini.
- Buka setiap hari, pukul 08.00 - 14.00 WIB, kecuali hari Senin dan hari libur.
- Harga tiket masuk terakhir :

1 komentar: