Jumat, 19 Juli 2013

Pemuda Bicara Perubahan

Kali ini sedikit serius bahasannya (mudah-mudahan). Saya ingin me-review bukunya Pandji Pragiwaksono : Berani Mengubah (entah ini termasuk book review atau bukan). Kalau ini termasuk book review, berarti this is the 1st time. Kalau bukan, ya udah lah ya. hehe

Om Pandji ini menurut saya adalah salah satu dari sekian banyak pemuda terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Kenapa saya bilang banyak? Karena memang banyak :D, hanya saja rezim media kita saat ini cuma menjejali otak kita dengan segala hal yang menimbulkan sifat skeptis dengan Indonesia, khususnya generasi muda.

Dia (Pandji) memberikan banyak inspirasi buat pemuda Indonesia yang lain, lewat karya-karyanya seperti Nasional.Is.Me, Merdeka Dalam Bercanda, Berani Mengubah (buku); bit-bit yang berkualitas dan mendidik saat beraksi sebagai komika (Stand Up Comedy); rima-rima ciamik dan nasionalis di lagu-lagunya (HipHop); kepeduliannya dengan anak-anak penderita kanker (pendiri YPKAI); tulisan-tulisan di blognya yang sering saya baca :D; etc.
Jadi, bagi kalian yang hanya mengenalnya dari acara Kena Deh!, berarti anda belum move on.
Oh iya, kami sama-sama fans MU lho (out of context. lupakan).

Pujian saya diatas sejalan dengan pendapat dari beberapa orang di halaman awal buku Berani Mengubah ini. Yang paling saya suka itu pendapatnya Wahyu Aditya (HelloMotion), yang menjadikan nama PANDJI sebagai akronim dari Produktif, Aktif, Nasionalis, Dedikasi, Jujur, Inspiratif. Cucoook cin!

Oke, cukup puja-pujinya, sebelum si Pandjistelroy nyebur ke laut dan lupa daratan :))

Back to the topic!

Baru membaca bab paling awal (Setelah Nasional.Is.Me), yang bisa dibilang bab prakata (mudah-mudahan benar), saya seakan ditampar oleh guru Bahasa Inggris saya di SMP yang punya telapak segede gaban.
Damn! I'm doing nothing for this country!
Saya masih sekedar bermimpi untuk membuat sebuah perubahan, tapi belum bisa melakukan sesuatu. Masih berkutat dengan permasalahan pribadi saya sendiri. hhmm...
"Apabila Anda siap berjuang, silahkan masuk ke halaman pertama untuk memulai perjuangan Anda", ini adalah sebuah tantangan dari Om Pandji, yang sebenarnya (menurut saya) bukan hanya 'perjuangan' untuk membaca buku ini sampai habis, tapi ada arti tersirat dibaliknya yaitu memulai perjuangan untuk Indonesia yang lebih baik.

Dan, ternyata halaman berikut buku ini memang menunjukkan bahwa buku ini serius dan menuntut 'perjuangan' untuk membacanya, terutama bagi kaum alay.
POLITIK. Sesuatu yang dulu (sebelum masuk kuliah) selalu saya jauhi, karena takut mengurangi kualitas hidup saya yang ciamik dan penuh canda tawa.
Ajakan Pandji dalam bab ini untuk mengenal politik lebih jauh, memang ada benarnya. Karena kita tidak akan terlepas dari kebijakan-kebijakan politik penyelenggara negara, yang tentunya berpengaruh pada hidup kita kapanpun dan dimanapun kita berada, sebagai warga negara Indonesia. Dan saya sudah menyadari hal itu sejak kuliah, sehingga saya menjadi lebih peka dengan hal-hal berbau politik, juga tingkah pola para politisinya.
Bagaimana bisa negara ini maju (seperti harapan kita semua), jika kita memilih penyelenggara negara yang salah? Itulah kenapa kita harus tahu dan mendalami politik. Kita harus bisa mengetahui siapa yang benar-benar tulus dan siapa yang hanya ingin meraih keuntungan lewat jabatan. Kita juga harus tahu siapa yang pantas dipilih dan siapa yang tidak pantas. Kita harus bisa lebih peka dengan praktek politik busuk, money politics, politik pencitraan dan sejenisnya, yang justru sekarang ini lagi gencar-gencarnya dilakukan oleh tikus-tikus berdasi itu. Juga lobi-lobi politik oleh partai dalam pengambilan keputusan, yang bagi orang awam mungkin akan mengira itu adalah bentuk keberpihakkan pada rakyat, padahal ada agenda kepentingan partai dibelakangnya.
Seperti kata Om Pandji, "Semakin kita buta politik, semakin mereka memanfaatkan kebutaan kita".

Hal yang tidak kalah penting dari politik adalah kesadaran hukum.
Ceritanya Om Pandji tentang tilang itu adalah satu dari sekian banyak masalah sepele yang memiliki efek sangat besar ke depannya. Bagaimana kita bisa punya penegak hukum yang bersih, kalau dikit-dikit 'damai'. Coba lihat akibatnya. Bahkan walau kita tidak minta 'damai' pun, kadang polisinya sendiri yang menawarkan. See?
Bagaimana dengan penyusunan RUU di DPR, yang rentan adanya 'pasal titipan'? Atau penegakkan hukum di Indonesia yang juga masih 'melapangkan' praktek 'jual-beli kasus'. Semakin kita tidak peduli, akan semakin lemah penegakkan hukum di negara ini, sehingga akan semakin merajalela pula kejahatan dan ketidakadilan. Apalagi, sisi negatif manusia kan memang sudah tertanam dalam diri, jadi kalau ada waktu yang pas dan semesta mendukung, jadilah itu barang. hehe
Benar tuh kata Glaucon, kalau manusia hanya akan berbuat baik dan adil dalam hidup, ketika ada dihadapan orang lain. Kalau kata Bang Napi mah kejahatan terjadi karena ada kesempatan atuh. Waspadalah! :D

Selain kedua hal diatas, yang tidak kalah penting juga adalah masalah ekonomi.
"Political reform starts from economical reform". Yapz, ekonomi adalah elemen penting dalam penyelenggaraan suatu negara. Simpel-nya, untuk jadi negara yang maju itu butuh duit (mau cewek cakep aja mesti berduit kan :D). Nah disitulah peran dari si ekonomi ini. Jika kebijakan pemerintah bisa menyebabkan perubahan ekonomi yang lebih baik, maka rakyat akan lebih makmur, pendidikan lebih terjangkau, masyarakat jadi cerdas dan kritis, sehingga negara kita bisa menjadi negara yang hebat.
Dan untuk mewujudkan hal-hal itu, yang harus kita lakukan adalah lebih giat dalam mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah. Itulah kenapa kita dituntut untuk punya kepekaan dan kesadaran akan politik tadi.

Tapi, kesadaran itu tidak akan bisa timbul dalam diri kita, bila kita sendiri tidak mengenal negara Indonesia dengan baik. Gimana bisa cinta, kenal aja kagak. Ya kan?. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka pasti dicuekkin, diselingkuhin, dianggurin, dijerukin, ditomatin. Apalagi ketidaksadaran itu justru sangat akut dalam diri wakil rakyat kita sendiri. Hal yang membuat daerah-daerah diluar (maaf) Pulau Jawa, seperti sangat jauh dari radar pemerintah pusat, sehingga pembangunan daerah seolah hanya mimpi di siang bolong. Dalam hal ini, saya juga menyalahkan diri sendiri yang belum bisa berkontribusi untuk membangun kampung saya di Flores sana. Saya sama seperti orang-orang lain, yang ingin meraih kesuksesan pribadi, dan menganggap bahwa kota Jakarta adalah tempat kesuksesan itu berada. Damn!
Dan, ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negara kita ini, bisa sedikit demi sedikit dikurangi jika kita bahu membahu membantu sesama bangsa ini, demi terciptanya keadilan sosial yang merata.

Sayang, hal tersebut sepertinya masih belum bisa terwujud. Persatuan dalam ikrar Bhineka Tunggal Ika dan Sila ke-3 Pancasila, seakan hanyalah sebuah slogan pemanis yang tidak punya arti apa-apa.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima perbedaan ini, entah itu ras, suku atau agama. Lihat saja kalau bertemu dengan orang baru, pertanyaan seputar orang mana atau agama apa, masih sering kita dengar. Seharusnya (menurut saya), tidak perlu lagi pertanyaan seperti itu, kalau kita semua sudah merasa sebagai sesama bangsa Indonesia.
Fanatisme agama mungkin yang paling mencolok diantara semuanya dan yang lebih tinggi potensi konfliknya. Kasus Alexander (seperti diceritakan di buku ini), adalah bukti bahwa kita belum bisa menerima perbedaan.

Maka dari kondisi masyarakat Indonesia yang seperti itu, kita sebagai generasi muda dituntut untuk mulai memikirkan dan berani memutuskan untuk mau mengubah Indonesia, lewat kegiatan apapun yang memang sesuai dengan passion kita masing-masing.
Kenapa harus sesuai passion? Karena dengan begitu kita akan bisa lebih enjoy, tetapi juga fokus dalam melakukannya, sehingga hasilnya tentu akan luar biasa. Seperti kata Om Pandji, "Berani Mengubah juga berarti harus Berani Fokus". Dan hal itu sudah dibuktikkannya dengan mendirikan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (YPKAI) sejak 2006, untuk mengurus anak-anak pasien kanker.
Selain yang dilakukan Pandji, kita bisa mencontoh dan mengambil inspirasi dari orang-orang tua seperti Ni Nyoman Suparni, Kak Lung, Pak Syamsudin dan Bu Indrawati Sambow, sosok-sosok pahlawan perubahan yang mengorbankan kenyamanannya demi membuat orang lain merasa nyaman.
Atau ide-ide dari para pemuda Berani Mengubah seperti Umen (Operasi Semut), Jessica Farolan (Smile For The Future), Kojek (#SKUBYB), Alika (LANDA Center) dan Damar (Dapur Kita). Juga bisa mengambil inspirasi dari Bapak Anies Baswedan dengan program Indonesia Mengajar-nya, Glen Fredly dengan Voice Of The East, dan masih banyak lagi yang lainnya (yang tidak pernah diliput media).

Dan, dengan perubahan kecil yang kita mulai, harapannya semoga perlahan dunia mulai mengenal kita sebagai bangsa yang besar, karena memang begitulah kita adanya, bukan hanya hal yang negatif saja. Kita bukan bangsa teroris (ingat MU yang batal main di Indonesia karena ulah ter-kampret-oris itu? atau musisi-musisi yang membatalkan konsernya karena merasa tidak aman? Damn!).
Kita juga bukan pecundang, seperti kata pendaki asing yang meremehkan tim 7 Summits Indonesia, dengan mengatakan kalau "You're very small". Hal itu harus kita bantah dengan menunjukkan kalau kita ini "Kecil-Kecil Cabe Rawit". Biar imut tapi pedes banget!
Dan, semuanya itu pasti bisa kita lakukan, karena kita punya potensi. Seperti kata Pandji, kita hanya perlu Kepercayaan Diri, Kemauan dan Pemimpin, sehingga dengan begitu kita bisa berinisiatif untuk membangun Indonesia.
Memang butuh waktu, tidak instan. Tapi kalau tidak pernah ada action, pasti tidak akan terwujud bukan? So, saatnya kita beraksi kawan!

Terus apa yang harus saya lakukan agar bisa mengubah Indonesia?
Pertanyaan yang muncul setelah membaca buku ini.
Sebuah tantangan yang diberikan Pandji kepada orang (khususnya pemuda) yang membaca buku ini. Tantangan dari seseorang yang tidak hanya berwacana tapi sudah beraksi. Semoga saya bisa mulai melakukannya, dan menjadi bagian dalam perubahan itu. Dan semoga pemuda Indonesia yang lain, yang belum melakukan sesuatu untuk Indonesia (seperti saya) pun juga ikut memulai aksinya.
Jadilah anak nongkrong yang berkualitas. Jangan hanya ngomongin gadget terbaru atau galau berjamaah.
Keren lagi, kalau pas lagi nyruput slurpee di Sevel atau 'cuci jemur' di Dahsyat, sambil ngobrolin ide untuk membangun bangsa. hehe
Karena .................

Indonesia memang butuh KITA.

Indonesia butuh PEMUDA.

MARI MENGUBAH INDONESIA..!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar