Kubuka selembar kertas suara itu. Terpampang potret dua pasang kandidat capres, calon pemimpin negeriku ini. Potret yang tiga bulan lagi akan mulai menghiasi setiap dinding kantor pemerintahan dan ruang kelas sekolah, bersama Sang Garuda. Potret yang mungkin akan dibakar massa demonstran saat aksi unjuk rasa.
Sama-sama tampak gagah walau berbeda ekspresi wajah. Putra terbaik bangsa, dari jutaan yang ada.
Pemilihan Presiden. Hari yang sudah ditunggu-tunggu segenap kalangan. Dari rakyat jelata hingga bangsawan kaya raya. Dari orang awam yang tak tahu apa-apa, hingga politisi kelas wahid yang penuh retorika dan tipu daya. Dari penduduk Indonesia hingga pemerintah negara tetangga, Eropa, Afrika, Asia, Australia, Amerika, dan terlebih negara adidaya milik Barack Obama.
Hari yang akan menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan. Berkembang lebih maju atau malah mengalami kemunduran, atau mungkin stagnan, tak ada perubahan apa-apa.
Hari yang menjadi puncak kerja tim sukses para kandidat. Setelah berbulan-bulan berjibaku, kampanye hingga pelosok negeri, berkoar-koar di setiap stasiun TV, berselancar di dunia maya lewat social media, menyebar baliho-poster-spanduk di setiap titik, menggaungkan sejuta jargon-jargon ciamik, melakukan negatif campaign hingga black campaign, dan mungkin sudah berpenetrasi lewat serangan fajar dini hari sebelum mulai pencoblosan. Semua itu dipertaruhkan hanya sehari. Akan berjaya atau malah tak berdaya. Karena seyogyanya sebuah kontestasi, hanya ada satu pemenang di akhir cerita nanti.
Kemarin aku kembali ikut mencoblos, berpartisipasi dalam pesta demokrasi Indonesia, setelah pertama dan terakhir kalinya di tahun 2004 lalu. Sepertinya tahun ini golput bukanlah sebuah pilihan yang rasional bagiku.
Kegamangan muncul saat sudah dibalik bilik suara, tiba-tiba aku ragu dengan keduanya. Ragu dengan kegagahannya, ragu dengan kesederhanaanya. Kata orang, politisi itu punya beribu wajah. Kadang berbulu domba, kadang berbulu singa, kadang juga bersisik bak kakap merah. Kadang penuh cinta seperti Agnes Monica, kadang ganteng-ganteng serigala.
Aku tak mau tertipu lagi seperti dulu. Laki-laki gagah berbaju biru itu, ternyata tak bisa berbuat apa-apa. Sepuluh tahun berlalu, hasilnya begini-begini saja, hanya ada secuil prestasi. Dua periode bekerja, empat album terekam. Orde Prihatin yang membuat prihatin.
Ah Fatin!
Terlintas dalam pikiran untuk mencoblos keduanya, atau di area luar saja, biar golput lagi seperti biasanya. Ah sudahlah, positif thinking saja, mungkin salah satu dari kedua pasangan itu bisa membawa bangsa ini lebih baik dari sebelumnya.
Pilihan sudah aku tentukan. Paku sudah tertancap. Kertas suara sudah tercoblos. Mengikuti intuisiku, kuberikan amanah ini ke mereka. Berharap keduanya adalah sosok yang pas untuk ku titipkan ibu pertiwi ini.
Seandainya mereka yang terpilih nanti, semoga bisa menjaga dan merawat nusantara tercinta dengan baik adanya, dengan segenap jiwa dan raganya, dengan segala daya upaya.
Semoga tak ada lagi anak yang putus sekolah karena kehabisan biaya.
Semoga tak ada lagi ibu-ibu renta, menyantap nasi aking sisa bulan sebelumnya.
Semoga tak ada lagi mati lampu di daerah-daerah.
Semoga sumber air su dekat di Indonesia Timur sana, agar Nona Ursula bisa kasih mandi babi milik keluarga.
Semoga tak ada lagi ribuan penganggur ngenes yang jomblo pula.
Semoga tak ada lagi Buruh Migran Indonesia yang disiksa, disetrika, dihukum mati, gaji tak dibayar, diperlakukan tak pantas oleh majikannya dan tak dihiraukan konsulat kita.
Semoga tak ada lagi pembalakan hutan liar di Kalimantan dan Sumatera.
Semoga tak ada lagi polusi asap di Riau sana, penyebab penyakit ISPA.
Semoga tak ada lagi Sipadan - Ligitan berikutnya.
Semoga budaya dan adat istiadat asli suku-suku di Indonesia, tak tergerus arus pembangunan dan modernisasi dunia.
Semoga tak ada lagi klaim budaya kita dari tetangga Malaysia.
Semoga sektor pariwisata kita tak hanya sekedar ladang fulus bagi investor dan penguasa.
Semoga tak ada lagi izin bagi pengusaha, untuk ekspansi membabibuta, merusak alam raya.
Semoga saudara-saudara kita di Papua sana, bisa menikmati kekayaan alam bumi mereka, yang selama ini hanya dikeruk orang asing dan para koleganya.
Semoga tak ada lagi impor bahan pangan, karena kita selalu swasembada.
Semoga harga sembako di pasar tidak makin mahal harganya, juga Tongsis yang senantiasa di obral murah.
Semoga tak ada lagi korupsi, gratifikasi, manipulasi, kolusi, nepotisme disetiap lembaga.
Semoga tak ada lagi pejabat yang ditangkap bersama mahasiswi atau gadis belia.
Semoga tak ada lagi ormas beringas, garang, intoleran, yang merasa diri panitia seleksi untuk masuk surga.
Semoga Timnas Indonesia bisa bikin prestasi yang membanggakan para pendukungnya, seperti para pemain bulutangkis yang selalu juara hingga tingkat dunia.
Semoga Cabe-Cabean dan Terong-Terongan tak menjadi cita-cita anak muda.
Semoga tak ada lagi anggota JKT48 yang bertambah. Segitu aja sudah pusing kepala.
Semoga tak ada lagi kata "prihatin", karena itu jargon sang mantan kepala negara.
Semoga tak ada lagi dusta di antara kita.
Dan masih banyak lagi harapan yang lainnya.
Tapi itu hanyalah harapan saja. Aku tak mau muluk-muluk. Mereka juga manusia. Punya keterbatasan dalam bekerja. Minimal menempati semua janji-janji kampanye mereka kepada rakyat. Visi misi yang sudah terangkai dengan indah, sangat sayang kalau tak ada tindakan nyata.
Kasihan petugas KPPS berkumis tipis dengan senyum cemerlang, yang kemarin menjalani tugasnya dengan sepenuh hati di TPS tempat saya mencoblos, demi kelancaran pesta akbar ini, kalau nantinya Presiden terpilih itu tidak menjalankan amanahnya dengan baik.
Jari tengahku yang kucelupkan tinta ungu kemarin, siap kuacungkan kepada mereka, kalau kinerja tak sesuai. Aku siap memaki, kalau mereka hanya ongkang-ongkang kaki. Akan kulempari tahi, kalau rakyat cuma disuguhi 'nasi basi'.
Karena sesungguhnya PHP (Pemberi Harapan Palsu) itu lebih menyakitkan dari PSK (Pemberi Secuil Kenikmatan).
Salam Indonesia Jaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar