"Lu tunggu di sini dulu".
"Entar lu gak usah ngomong apa-apa, biar gue aja".
"Kupluk dipake aja terus, gak usah dibuka".
"Muka lu harus serius aja, jangan sampe senyum", cecar si Roy saat kami baru sampai.
Di hadapan ku tampak sebuah bangunan kecil, berdinding bata ekspos, tanpa jendela, dengan lampu warna-warni disekelilingnya. Mobil-mobil mewah berjejer rapi di tempat parkir. Ku arahkan pandangan ke pintu kecil di bagian tengah, satu-satunya akses masuk bangunan ini, tergantung satu papan nama dengan tulisan "CAFE BAHAGIA".
Sejenak aku berpikir tentang itu. Kenapa dinamakan bahagia?. Apa setiap orang yang masuk kesitu akan langsung bebas dari gundah gulana, lalu kembali bersukaria?. Tersungging sedikit senyum saat memikirkan hal itu. Lalu lalang beberapa pria paruh baya, dengan tampilan necis bak don juan, rambut klimis dan sepatu mengkilap, seakan membenarkan apa yang aku pikirkan barusan.
Terlihat pula wanita-wanita yang cantik dan sangat seksi. Balutan gaun mini melekat ketat ke badan, dipadu padan dengan sepatu hak tinggi dan bibir merah merona. Wangi parfum terasa sampai ke tempat ku berdiri, walau sedikit berjarak dari mereka. Menggugah hasrat kelelakian.
Aku masih belum mengerti, kenapa Roy membawaku kesini. Kondisi keuangan kami yang tidak memungkinkan untuk bersenang-senang saat ini menjadi alasan. Masih teringat jelas, siang tadi kami berdua beriringan keluar dari kosan menuju warteg langganan kami. Memesan nasi putih ditambah sepotong tempe. Senyum sinis si Babeh terlihat jelas, saat kami menambahkan masing-masing Rp. 2.500, di buku bon miliknya, saat selesai makan.
Aku harus berhutang lagi. Sisa uang Rp. 3.000 di dompetku, sudah kupakai untuk membeli nasi uduk tadi pagi, karena rasa lapar yang begitu melilit perut akibat 'puasa' semalam.
Motor si Roy yang kami pakai untuk ke tempat ini pun, bensinnya sudah tiris. Sudah melewati garis merah. Kemungkinan habis saat jalan pulang nanti.
Dari pintu cafe itu, yang juga satu-satunya tempat paling terang di lokasi cafe berada, muncul seorang laki-laki tambun berpostur tegak, dan langsung menghampiri Roy. Hanya tampak siluet badan mereka yang berdiri membelakangi cahaya lampu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi terlihat sangat serius sekali obrolan itu. Sesekali Roy menunjuk-nunjuk ke arah ku.
Tak berapa lama, Roy pun menghampiriku.
"Ayo kita masuk".
"Jangan lupa pesan gue tadi".
"Jangan sampe tuh orang jadi gak percaya sama gue". Temanku itu kembali mencecar, seolah aku ini anak TK yang butuh arahan berlebih.
Pria tambun, yang akhirnya kuketahui bernama Syamsul itu, membawa kami masuk. Ternyata dia adalah manajer cafe remang-remang itu. Dua gadis cantik yang seksi berdiri di ambang pintu, menyambut kami dengan senyum menggoda. Dentuman musik yang tadi hanya samar-samar terdengar, sekarang begitu jelas di telinga. Hentakan bass yang begitu keras, seolah mau mencopot rongga dada.
Kami berdua ditempatkan di sebuah meja di sudut dekat pintu masuk. Tampak laki-laki yang saya lihat di luar tadi, sedang menari didepan area si DJ. Tak karuan. Tariannya tanpa irama. Efek alkohol yang sudah memuncak, membuat mereka terlihat seperti Jackie Chan di film Drunken Master, yang sedang memperagakan jurus mabuknya.
Sebagian pria tak bergeming dari tempatnya. Hanya menikmati alunan musik sambil duduk, ditemani masing-masing seorang gadis, yang bergelayut manja di lengan si pria. Sesekali dituangkannya minuman ke dalam gelas yang sudah kosong.
Kemudian datang dua gadis yang tadi menyambut di pintu, membawa nampan, lalu menyuguhkan bir dan sepiring penuh french fries untuk kami berdua.
"Kalo udah abis dan mau nambah, bilang aja ke mereka berdua", sahut Syamsul yang mengikuti dari belakang.
Kedua gadis tadi duduk di samping kami untuk menemani dan langsung menuangkan bir ke dalam gelas yang masih kosong itu. Sejurus ku alihkan pandangan ke arah Roy, yang hanya dibalasnya dengan kerlingan mata, seolah menyuruh agar aku menikmati saja tanpa bertanya-tanya lagi.
Botol demi botol bir kami habiskan, sambil tertawa riang dan menikmati alunan musik yang kini berganti dengan tembang kenangan tahun 80-90an. Si gadis yang tadi agak jauh dan cuma bertugas menuangkan bir ke gelas, sekarang begitu manjanya dalam pelukanku. Sesekali ku cium bibir tipisnya yang merah merekah. Bau alkohol dan rokok yang menyengat dari bibir itu tak ku hiraukan lagi.
Tak ku sangka, aku yang beberapa jam yang lalu bak musafir di padang gurun, sekarang seolah seperti saudagar kaya dengan harta berlimpah.
Jam di arlojiku menunjukan tepat pukul 03.30, saat kami berdua melangkahkan kaki menuju tempat parkir motor. Kulihat si manajer cafe, Syamsul, menyodorkan sebuah amplop putih kepada Roy, sesaat sebelum kami keluar.
Sesampainya di kos, sebelum aku masuk ke kamar untuk beristirahat, Roy menahanku sebentar. Dia membuka amplop dan mengambil beberapa lembar uang pecahan Rp. 100.000, lalu memberikannya kepadaku.
"Kita bagi dua bro. Sama rata", katanya sambil tersenyum lebar.
Dua juta lima ratus ribu. Jumlah uang yang diberikan Roy kepadaku.
Tak ingin kutanyakan kenapa manajer cafe tadi memberikan uang sebanyak itu lagi, padahal sebelumnya kami sudah disuguhi minuman gratis. Yang ada di kepalaku saat ini hanya bayangan paha ayam yang siap ku santap nanti. Tak ada lagi masa puasa untuk beberapa minggu ke depan. Tak akan terlihat lagi muka sinis Babeh pemilik warteg.
Senyum tersungging saat ku rebahkan tubuh ke atas kasur. Malam yang indah. Bahagia paripurna. Terjawab sudah pertanyaanku tentang nama cafe itu semalam.
* * * * *
Ilustrasi gambar >> link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar