Hampir sebulan tidak menulis, sejak postingan terakhir saya. Biasa, buntu ide jadi mati gaye. hehe
Tapi gara-gara beberapa hari lalu diingatin teman saya tentang seorang guru waktu SMP dulu, sepertinya saya harus menulis cerita ini.
Ini sebuah cerita yang bisa dibilang tragis, sedih, menyebalkan dan tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.
Saya lupa pastinya kapan kejadian ini. Yang saya ingat kalau tidak salah waktu itu masih awal-awal semester 1, saat saya kelas 3 SMP, jadi kira-kira September/Oktober tahun 1999/2000.
Jadi, sebelum pulang, ada pengumuman dari guru yang mengajar mata pelajaran terakhir, bahwa akan ada apel perpisahan dengan Bapak Sebas (Guru Fisika), karena akan pindah tugas ke Pulau Sumba. Pengumumannya tidak pakai speaker, maklum sekolah di kampung :D
Setelah lonceng pulang sekolah dibunyikan, kami langsung ke lapangan dengan MALAS. Siang-siang di Flores itu panasnya bisa bikin pusing 777 keliling. Ditambah lagi, Pak Sebas ini tidak pernah mengajar kami, karena adanya sistem 'bawa kelas', dimana dari kelas 1 sampai kelas 3, gurunya sama. Jadi tidak hanya muridnya yang naik kelas, gurunya juga, bahkan wali kelasnya pun sama juga. Entah apa maksud dan tujuannya.
Tidak ada komandan upacara, jadi semua mandiri mengatur barisannya sendiri per kelas.
Satu per satu guru yang berwenang (kepala sekolah & jawatannya), maju memberikan sepatah dua kata (padahal banyak) sebagai salam perpisahan untuk beliau (Mr. Sebas). Dan terakhir giliran yang empunya acara memberikan kata-kata mutiara untuk anak didiknya, sebelum meninggalkan sekolah ini.
Saya tidak tahu apa yang dikatakan oleh beliau, karena memang sengaja tidak mendengarnya. MALAS. Tinggal pergi juga, masih saja banyak cakap. Say goodbye aja lah. Simple...
Dan, namanya remaja yang baru akil balik, gejolak kreatifitasnya kan menggebu-gebu, makanya waktu itu saya dan beberapa teman di barisan belakang asyik-asyik saja bermain dan bercanda. Kreatif kan?? ;)
Saya lupa waktu itu kami bercandanya bagaimana dan siapa yang memulainya terlebih dahulu. Mungkin kalau kami ada di masa sekarang, kami sudah ber-gangnam style atau ber-harleem shake ria disana. Jadi analisa saya, jangan-jangan waktu itu kami ber-SKJ (Senam Kesegaran Jasmani). hehe...
Ah lupakan...
Singkat kata. Singkat cerita.
Tiba-tiba kami sudah keluar dari barisan kelas 3A (maklum awak pintar), dan tiba-tiba juga Pak Sebas sudah berada di depan komuk imut saya, dan tiba-tiba lagi semua teman saya yang tengil, kampret, kacrut itu sudah berdiri rapi di barisan, meninggalkan saya sendirian. TEGA.
Dan sampai sekarang masih jadi pertanyaan bagi saya, kok bisa mereka secepat itu kembali ke barisan. Padahal belum ada berita (saat itu), kalau Flash menurunkan ilmu cepatnya ke orang lain.
Di hadapan saya, Pak Sebas terlihat seperti Dr. Bruce Banner yang mulai berubah menjadi Hulk. Otot-otot membesar, baju mulai terkoyak, tubuhnya bukan jadi ijo tapi merah, muncul tanduk dan ekor. Persis seperti Hell Boy. Lho??!!
Saat itu sih saya berharap menjadi Man Of Steel yang memegang Perisai Captain America dan Godam Mjolnir milik Thor, agar bisa melawan 'makhluk buas' di depan saya ini, atau ada BatMobile, jadi bisa kabur secepat kilat.
"Kau ikut saya ke depan!!!!!", teriak Pak Sebas.
Dengan langkah gontai dan berat hati, terpaksa saya jalan ke depan barisan. PASRAH.
Sampai di depan, saya tiba-tiba gemetaran (kalau gempa, pasti berpotensi tsunami), setelah melihat Pak Sebas menuju ke arah salah satu kelas. Dengan kemampuan menerawang bak Ki Joko Bodo, mata saya langsung tertuju ke arah pagar bambu di TMIK (Taman Mini In depan Kelas #maksa :D). Dan ternyata benar, dia langsung mencabut salah satu pagar bambu itu yang ternyata cukup panjang (± 50 cm).
Si ksatria berpagar bambu itu kembali menghampiri saya. Dan dengan gaya ala Travis Barker 'Blink 182' dikolaborasikan dengan Jerinx SID, dia langsung melancarkan aksi gebuk menggebuk, seolah punggung saya ini drum merk Yamaha.
Punggung rasanya perih luar biasa, ditambah sakit hati saat melihat pecahan bambu jatuh satu per satu ke lantai. D.A.M.N..!!!
Tapi, dalam hati saya bertekad tidak akan menangis walau sakit. Gila kali nangis di depan junior-junior yang baru masuk. Gue harus bisa setegar dan sekuat pasukan Spartan, walau gak sixpack. GANBATE..!!
Setelah penganiayaan itu berakhir (PUJI TUHAN..!!), dengan santainya dia menyuruh saya masuk barisan kembali, tanpa rasa bersalah dan simpati sedikit pun. Cih..!!
Saat perjalanan pulang ke rumah, tidak ada satu pun teman yang menggoda saya. Mungkin mereka iba dan tidak tega.
Saya tau kalau punggung saya memar-memar (kalau ada yang tidak percaya, sini saya pukul punggung kalian biar tau), tapi luka ini harus kubawa berlari, berlari, hingga hilang pedih perih (itu kata Chairil Anwar).
Sejak saat itu, bahkan sampai sekarang, saya tidak bisa melupakannya, dan belum bisa menerima perlakuan itu. Bukan karena dipukul (itu sudah biasa di dunia persilatan), tapi karena yang memukul saya itu Pak Sebas, guru yang tidak pernah menurunkan 'ilmu kanuragannya' kepada saya, bahkan menegurnya pun bisa dihitung pakai jari.
Ditambah lagi, itu hari terakhir dia di sekolah. Batang hidungnya tidak akan terlihat lagi mulai besok dan seterusnya. S.H.I.T...!!!
Seandainya waktu itu praktek kekerasan oleh guru tidak lumrah, trus saya sudah melek hukum, dan UU Perlindungan Anak sudah ada, mungkin sudah saya laporkan ke polisi, dan mungkin Pak Sebas tidak jadi pindah tugas ke Sumba tapi malah ke 'Hotel Prodeo'. Lumayan kan 3,5 tahun dipenjara dan/atau denda 72 juta rupiah (pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). hehehe
Sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu.
Jadikan itu sebagai bagian cerita hidup saya. Kan dalam hidup pasti ada manis, ada pahit. Ada bahagia, ada sedih. Ada Pak Sebas, ada bambu, ada memar di punggung. *eh
Kapan ya kita ketemu lagi pak??
Coz dulu sehabis dipukul, saya lupa jabat tangan Bapak =))
tulisannya bagus
BalasHapus