Kota Lama di setiap daerah adalah bagian dari cerita, sebagai citra visual potongan sejarah perkembangan sebuah kota. Tampilan bangunan - bangunan kuno yang eksotis dan bernilai historis, menjadikannya tempat yang bersahaja untuk dinikmati di tengah modernitas saat ini.
Saya mungkin salah satu penikmat segala kenangan yang ditampilkan oleh lanskap kota - kota lama itu. Kota Tua Jakarta hampir setiap saat saya kunjungi, berhubung tempat tinggal ku dulu yang hanya sepelemparan batu dari sana. Setiap kali ke Bandung pun, saya selalu menyempatkan diri untuk 'bertandang' ke kawasan kota lamanya. Begitupula saat menghabiskan sembilan jam di Semarang, saya tuntaskan di Kota Lama sebelum beranjak pulang ke Ibukota.
Jauh di timur, Kupang pun memiliki sebuah kawasan Kota Lama, tepat di pesisir Teluk Kupang. Menampilkan kenangan akan pusat perdagangan cendana antar pulau pada masanya. Hiruk-pikuk masa lalu yang kini berganti riuh-rendah para penikmat senja.
Dan di tengah kebersahajaan masa lampau itu, akan dijumpai hiruk-pikuk, riuh-rendah lain saban malam menjelang, di sebuah gang sempit yang terhimpit deretan toko - toko tua.
Pasar Malam Kampung Solor menjadi satu sisi dari kawasan Kota Lama Kupang yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, terutama bagi para pendatang, karena menyajikan sensasi berburu seafood di malam hari yang begitu semarak dan tentu saja memanjakan lidah.
Deretan lapak - lapak sederhana yang berjejer akan menjadi surga kecil bagi para penikmat makanan laut. 'Etalase - etalase' yang penuh dengan berbagai jenis ikan seperti kerapu, kakap merah, dan lain-lain, juga cumi-cumi, kepiting beserta 'rekan-rekannya', siap dipilih untuk diolah menjadi makan malam nikmat. Ditemani berbagai macam side dish lainnya.
Laut NTT yang kaya, tentu saja menjadikan pilihan makanan pun begitu beraneka.
Dibakar, digoreng atau dijadikan kuah asam. Semua kembali kepada selera masing-masing.
Hampir setengah perjalanan hidup, kuhabiskan di sana. Kembali kesana seolah kembali ke rumah kedua.
Dua tahun selepas saya tinggalkan untuk pulang ke Flores, ada yang berubah dari Jakarta, walau yang lain masih tetap seperti sediakala.
MRT yang dulu masih dikerjakan, kini sudah mulai beroperasi untuk rute Lebak Bulus - Bundaran HI, sejak diresmikan oleh Presiden Jokowi, bulan Maret lalu. Mempermudah, pun mempercepat perjalanan Jakartans menuju tempat-tempat yang dilewati oleh si kereta cepat.
Trans Jakarta [yang suka disebut Busway 😁] sudah menambah jalur hingga menjamah setiap titik kota, sampai daerah pinggiran Jakarta, dengan banyaknya armada bus pengumpan yang siap melayani warga. Murah, mudah & nyaman.
Stasiun Tanah Abang (dan mungkin stasiun lain) berbenah diri menjadi lebih baik lagi, lebih rapi, pun menjadi begitu keren sekali.
Trotoar di sepanjang jalur Sudirman memberi kenyamanan yang sungguh bagi para pejalan kaki. Walau nihilnya pepohonan rindang, membuat sengat matahari begitu terasa sekali.
Pun beberapa JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) seperti di Bundaran HI dan Polda Metro Jaya yang begitu modern terlihat.
Pasar Senen yang dulu sempat terbakar, sudah dibangun menjadi sangat modern. Blok sisanya di sebelah pun sudah dirobohkan, dan entah mau dibuat seperti apa lagi nanti.
Bagus, walau imbasnya bagi orang-orang seperti saya yang biasa 'langganan' pakaian-pakaian ori second hand (Rombengan kalau di MOF 😁), kue-kue beranekaragam yang sangat murah di Pasar Pagi-nya, juga pembuatan kostum olahraga/baju lainnya yang murah, menjadi kehilangan tempat. Mungkin saja ada yang tetap berjualan di sana, tapi tentu saja harganya pasti lebih mahal [mungkin ya] karena pajaknya yang pasti naik dengan kondisi yang modern seperti itu.
Mencari buku-buku loakan murah pun, pasti jadi lebih susah, karena setelah para penjualnya 'terusir' dari jalanan Kwitang, mereka lalu pindah ke Pasar Senen situ, dan entah sekarang pindah kemana lagi.
Langit Jakarta masih tetap bermuram durja dengan tampilan warna putih ditingkahi abu-abu. Dulu masih bisa kita lihat biru langit yang muncul malu-malu.
Warga masih tergesa-gesa, selalu diburu waktu. Lanjut tidur di perjalanan, habis umur.
Pengendara masih saja lewat trotoar. Seenaknya. Tidak peduli ada yang bersungut-sungut karena haknya dilanggar.
Ojek online malah menambah masalah baru. Mangkal sembarangan. Kendaraan diparkir seenaknya di pinggir-pinggir jalan.
SEMENTARA ITU.
Pecel lele si Ibu, depan kantor dulu, masih nikmat apaadanya. Sambalnya masih menggelitik lidah, memaksa tambah porsi.
Abah tukang sol sepatu langganan, tetap duduk manis di depan Stasiun Pangeran Jayakarta, menanti para pekerja yang robek sepatunya dan membutuhkan jasa si Abah.
"Ya cuma ini aja yang bisa Abah lakukan dek", begitu katanya.
Pasar Kaget Pecah Kulit masih ramai saja. Masih menyediakan segala macam barang dengan harga yang sangat terjangkau. Tetap seperti dulu, menjadi 'surga' bagi manusia-manusia kere penghuni Mangga Besar dan sekitarnya. Seperti saya. ha-ha-ha
Plaza Lokasari di dekat kosan, tempat belanja bulanan, masih berseliweran perempuan-perempuan wangi, dandanan menor o-em-ji, dengan pakaian yang sungguh mini.
Jl. Medan Merdeka Selatan, di sekitar Kedubes Amerika sampai Balai Kota, masih membuka memori pahit, saya dikeroyok belasan polisi, saat bentrok aksi demonstrasi. Bibir luka, leher sakit luarbiasa, kaki tak bisa tekuk seminggu lamanya. Ah 😏
Affogato Orgasm masih belum bisa juga kucicipi, walau balik lagi ke kedai Filosofi Kopi untuk ketiga kali.
Dan Monas masih tetap berdiri di sana, belum juga pindah. Eh. ha-ha-ha
Sudahlah,ku akhiri saja tulisan receh ini.
Seorang teman bertanya, apa saya terbersit niatan kembali melanglangbuana lagi di Jakarta.
Magnetnya mungkin masih ada, tapi sayang, ada damai yang begitu terasa kala di kampung, di dekat keluarga. Juga MOKE tentu saja 😆
Menemukan kedai kopi secara tidak sengaja adalah berkah tak terkira, terutama ketika seharian belum mendapatkan asupan kafein sama sekali.
Begitulah halnya dengan Ruang Seduh ini.
Sore itu, saat sedang melihat-lihat buku di toko buku Aksara, dan 'terpaksa' harus 'ke belakang' sebentar, saya--yang pecinta seni, sekaligus seniman abal-abal ini--tertarik dengan satu ruang kecil di bagian paling belakang, yang penuh dengan pajangan lukisan-lukisan.
Dan setelah menuntaskan segala 'hasrat' yang muncul tadi, saya langsung melangkah ke sana. Namun belum sempat masuk, saya tiba-tiba tergoda dengan sebuah ruangan serba putih didepannya. Harum kopi begitu menyeruak ditengah lalu lalang segelintir orang didalamnya. Tampak beberapa alat seduh dan sebuah grinder--dengan topeng storm trooper dari serial starwars, yang entah apa mereknya--di atas meja bar.
Dengan pasti--karena yakin itu kedai kopi--saya pun melangkah kesana. Hasrat ngopi tiba-tiba muncul dengan sendirinya. 'Godaan' kopi itu memang susah sekali untuk diabaikan begitu saja.
Di sebuah kaca, tertulis nama RUANG SEDUH dengan logonya berupa tetesan air [iya kan ya? 😁]. Di meja bar-nya, persis depan kasir, terpajang tiga single origin pilihan. Ada Ethiopia Konga (yang dilabeli sebagai Forbidden Fruit), Gamboeng Pasundan (Irama Keroncong), dan Ethiopia-Guji Liya (Flower Power). Masing-masing dengan penjelasannya tentang karakteristik rasa, tingkat ketinggian, hingga roaster-nya.
Yah, namanya juga third wave coffee shop. he-he-he
Saya lalu memesan Cappuccino.
Entah mereka pakai single origin yang mana. Saya lupa menanyakannya.
Pas lah sore-sore menikmati racikan kopi ala Italia itu. Walaupun sebenarnya di sana orang minum cappuccino itu biasanya pagi-pagi, sebagai sarapan.*
Tapi itu kan di Italia, bukan Jakarta. Di sana pagi, di sini sore [iya kan? 😝]
Suasana di Ruang Seduh saat itu sangat tenang, sehingga ritual ngopi saya begitu syahdu terasa. Bahagianya paripurna.
Belakangan saya baru tahu kalau ketenangan itu dikarenakan tepat di ruangan sebelah kedai ini ada Kinosaurus. Sebuah microcinema (bioskop kecil), yang biasa memutar film-film independen atau kadang juga film-film box office. Banyak pegiat dan pecinta film yang sering wara-wiri di Kinosaurus ini.
Sembari menghabiskan cappuccino milik saya yang nikmat nian, saya mengamati sekeliling kedainya dengan seksama demi kepentingan blog abal-abal ini. he-he
Karena mengusung slogan "Brewers Without Borders", set coffee bar-nya pun sengaja diposisikan di tengah kedai, sehingga para pengunjung bisa leluasa berinteraksi dengan barista-baristanya, bahkan diijinkan untuk membuat kopinya sendiri (dengan instruksi dari si barista tentunya).
Terdapat dua meja bar yang ada. Yang depan untuk manual brewing. Sementara yang belakang khusus espresso based, dengan La Marzocco (entah tipe apa) dan mesin yang satu lagi (saya lupa mereknya 😁), nongkrong manis diatasnya.
Sehubungan dengan pengunjung yang bisa menyeduh kopinya sendiri, di salah satu dinding Ruang Seduh ini tertempel semacam resep untuk beberapa jenis menu kopi, seperti espresso dan manual brewing untuk masing-masing single origin yang ada. Dengan segala takaran/ratio antara air dan kopinya masing-masing.
Mungkin sebagian orang yang melihatnya (terutama penikmat kopi tradisional), pasti merasa aneh dengan segala tetek bengek ini."Mau ngopi kok ribet amat" 😁
Tapi memang kalau ingin ngopi enak maksimal, ya mesti dilakukan dengan cara yang benar juga. he-he
Sebelum pulang, saya memutuskan untuk menyudahi 'petualangan' saya di Ruang Seduh ini dengan satu racikan manual brewing. Jadilah saya memesan single origin Ethiopia Konga yang diseduh dengan V60.
Tapi karena kata si barista kalau single origin ini sudah dikalibrasi sehingga tidak bisa memakai alat seduh yang lain, maka jadilah saya untuk pertama kalinya mencoba alat seduh manual selain V60 yaitu Walkure. Alat seduh dari Jerman, yang terbuat dari porselin asli sehingga bisa menjaga kopi agar tidak cepat dingin.**
Menurut yang saya baca dari berbagai sumber, proses kalibrasi ini sangatlah penting untuk menjaga kualitas rasa dari si biji kopi. Kalau kata teman saya, proses kalibrasi ini dilakukan agar bisa menyamakan 'persepsi rasa' antara lidah yang satu dan lidah yang lain. Jadi ketika notes dari single origin yang diminum itu citrus, maka si A akan merasakan citrus ketika meminumnya, begitu pula si B akan merasakan citrus juga di setiap sesapannya, bukan malah merasakan sakit hati yang teramat dalam. ha-ha-ha 😝
WALKURE (pic source: prima-coffee.com)
Segelas Ethiopia Konga--yang sayangnya benar-benar satu gelas saja. he-he--akhirnya menjadi sebuah kesudahan yang sungguh nikmat.
Walau saya tidak merasakan fresh apple seperti yang mereka tulis, tapi tak apalah, karena saya yakin 100% itu bukan karena kesalahan baristanya atau kualitas biji kopinya atau roasting profil-nya, tapi MURNI karena lidah saya yang amatiran 😁
Ruang Seduh ini jadi satu ketidaksengajaan yang patut untuk disyukuri.
Tabe!
PS:
* dari berbagai sumber
** majalah otten coffee
➤ Alamat Ruang Seduh: Jl. Kemang Raya 8B (seberang Arion Swiss Bell Hotel - belakang toko buku Aksara [lewat samping kasir] - satu kompleks dengan 365 Eco Bar) ㇑Cabang Jogja: Jl. Tirtodipuran 46
Sepulangnya dari Gang Potlot, tempat 'markas besar' Slank berada, tiba-tiba saya teringat dengan sebuah kedai kopi yang artikelnya saya baca beberapa hari yang lalu.
Dengan segera saya buka kembali kembali history pencarian di Google, untuk tahu alamatnya, dan lalu menyambangi kedai kopi itu. 'Mengobati' kegagalan bertemu personil Slank--karena rumahnya tertutup--memang HARUS dengan kopi yang nikmat.
Beruntung lokasinya belum terlewat. Saya pun buru-buru meminta berhenti ke sopir bis yang saya naiki, setelah melihatnya di seberang jalan. Berada di antara deretan ruko-ruko. Nama kedainya terlihat jelas dari jalan, karena berukuran cukup besar.
Tempatnya ada tepat di depan (seberang) kantor/showroom Honda Tebet, tidak jauh dari Jembatan Pancoran.
Tampak beberapa orang remaja masa kini sedang duduk di depan dinding kaca besar. Ngopi, ngerokok, ngobrol ngalor ngidul. Sementara di dalam terlihat begitu sepi. Hanya ada dua orang barista, dan dua ibu-ibu yang sedang asyik menikmati kopi mereka.
Kedainya tidak begitu luas, dengan bentuk memanjang ke belakang. Dindingnya didominasi warna putih, dengan sedikit cat hitam di beberapa sisi.
Terlihat cukup modern.
Ada yang menarik di area paling belakang. Di dindingnya yang berwarna putih, terdapat tulisan yang cukup besar; "SELAYAKNYA ISTRI, KOPI ADALAH TITIPAN".
hhmm. Perbandingan yang aneh, walau benar adanya. Segala yang ada di dunia ini, kan memang hanya titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. he-he
Saya lalu memilih duduk di meja panjang, tepat di bawah tulisan itu. Menikmati pesanan kopi saya yang tidak lama sudah datang, sambil membaca buku yang saya ambil dari rak di samping coffee bar. Kopi dan buku memang 'pasangan' yang berjodoh.
Saya memesan Kopi Vietnam [lagi] kali ini. Saya sepertinya jatuh hati dengan minuman kopi susu ala negeri komunis ini 😀
Di Kopimana27, kopi vietnamnya agak ringan. Tidak seperti di Kopi Oey yang cenderung pekat campuran kopi hitam dan susu kentalnya. Walau seperti artikel yang pernah saya baca, citarasanya memang selayaknya seperti itu.
Tapi walaupun begitu, keduanya tetap punya sensasi nikmatnya masing-masing.
Suasana kedai kopi ini tidak terlalu ramai saat itu. Sampai kopi vietnam saya tandas, juga buku yang sudah hampir setengahnya saya baca, hanya bertambah dua orang bapak-bapak yang datang dan seorang ibu beserta dua anaknya yang membeli kopi untuk dibawa pulang.
Sementara remaja-remaja masa kini tadi, sudah pindah ke dalam kedai. Masih tetap ngopi, ngerokok, ngobrol ngalor ngidul.
Saya lalu memutuskan untuk memesan kopi lagi.
Tulisan "Ethiopia" di daftar "Kopi Golongan Asal" yang tertera di sebuah papan hitam, mengurungkan niat saya untuk pulang. Memang ada kopi nusantara yang tertulis di situ, seperti Toraja Yale, Malabar dan Gayo. Namun ketiganya sudah pernah saya coba di kedai kopi lain.
Saya memilih untuk diseduh dengan metode pour over menggunakan V60.
Ethiopia V60.
Pilihan yang benar adanya. Saya menikmatinya dengan senyum penuh kepuasan.
Dan karena mereka 'memproklamirkan' dirinya sebagai "warung kopi dan penitipan istri", saya sepertinya akan datang untuk ngopi lagi, sekaligus membawa istri untuk dititipkan.
Istri teman tapi. ha-ha-ha-ha
Tabe!
PS:
➤ Alamat Kopimana27:
Jl. Prof. DR. Supomo, No. 45 RZ, Tebet Barat, Jakarta (depan Honda Tebet, tidak jauh dari Jembatan Pancoran)
Sama seperti jilid sebelumnya, rekomendasi kali ini pun hanya saya khususkan untuk lagu-lagu hasil kolaborasi antara beberapa penyanyi, entah itu sesama artis reggae atau kolaborasi lintas genre.
Lagu-lagu ini tentu saja yang ada di playlist saya, dan sering saya dengarkan. Dan, tentu saja juga, tidak hanya ini saja kolaborasi reggae yang ada.
Segelintir lagu di rekomendasi ini hanyalah sebuah persembahan dari saya--dengan tulus ikhlas penuh cinta--untuk mereka-mereka di luar sana, kaum-kaum kurang piknik yang haus akan hiburan 😝
Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah untuk menyegarkan pikiran kawan-kawan itu tadi, sehingga dengan begitu berimbas kepada kesyahduan timeline akun Facebook saya. Tidak lagi dipenuhi segala macam gundah gulana, sedu sedan, juga sumpah serapah.
Baiklah. Mari kita dengarkan saja bersama-sama. Jangan lupa goyang. Jempol kaki saja pun tidak apa-apa. he-he-he
1. Alborosie ft. Gramps Morgan - One Sound
Kolaborasi reggae deejay dari Italia--yang sekarang menetap di Jamaika--dengan 'bapak-bapak Jamaican' bersuara renyah favorit saya ini menjadi pembuka yang pas kan? 😉
"We say one love from the east of Jamaica. We say one heart straight into Africa. We say one sound right through Europe. One destiny for all humanity"
2. Ali Campbell ft. Shaggy - She's A Lady
Mantan vokalis UB40 ini sekarang sudah bersolo karir. Walaupun memang 'rasa UB40-nya' masih sangat kental di lagu-lagu miliknya (menurut saya).
Tapi bagi saya itu bukanlah sesuatu yang jelek selama lagu-lagu itu masih enak didengar, seperti kolaborasinya dengan Shaggy ini.
"She never ask for very much and i don't refuse her. Always treat her with respect and i will not abuse her. What she's got is hard to find and i don't wanna lose her. Help me build a mountain from my little pile of clay"
3. Faby ft. Gramps Morgan - I'm Lost Without Him
Karena 'bapak-bapak Jamaican' ini salah satu favorit saya, jadi masuk lagi di list ini. Kali ini yang mengajaknya berkolaborasi seorang penyanyi dari New Caledonia.
4. Irie Love ft. Peetah Morgan - Let It Fly
Irie Love ini seorang penyanyi R&B Reggae dari Hawaii, sementara Peetah Morgan adalah vokalis dari 'band keluarga' Morgan Heritage.
5. Irie Souljah ft. Kabaka Pyramid - Inna Di Mood
Kolaborasi yang keren dari artis reggae berdarah Spanyol, dengan salah satu jendral reggae revival Jamaika.
PS: yang tidak tahu apa itu Reggae Revival, silahkan browsing, atau tunggu artikel kaka Chivo berikutnya 😉
6. Jah Sun ft. Gappy Ranks - Never Stray
Kolaborasi yang asyik.
Sudah itu saja.
he-he-he
7. Keznamdi ft. Chronixx - Victory
Reggae kok tidak ada encet-encetnya?
Mungkin begitu pertanyaan kalian. Ah sudahlah. Dengarin saja dengan penuh khidmat dan hayati segala pesan yang mau mereka sampaikan di lagu ini. he-he
"Victory. When you winning its a sweet story. When you're not then the war is bitter. You quick to call me a sinner. Only Jah Jah know my history. Suh we affi give the King glory. Like a tree planted by the river. I a smile with the sun. Can't keep we down cah we have to overcome"
8. Marla Brown ft. Runkus - One Shot
Marla ini putri dari Dennis Brown (yang dijuluki "The Crown Prince of Reggae" oleh Bob Marley sendiri).
Memang, "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" 😀
Lagu "Zion" yang featuring dengan Ras Muhamad pun enak untuk didengar.
9. Millie Small & Roy Panton - We'll Meet
Dengan irama ska klasik yang khas, kolaborasi pelantun lagu populer; "My Boy Lollipop" dengan sesama artis reggae lawas ini begitu asyik terasa.
"I know your love for me is stronger. That's why we'll meet yes we'll meet"
10. Peter Tosh & Mick Jagger - Don't Look Back
Kolaborasi antara duo legend di 'dunianya' masing-masing.
Klasik asyik!!
11. Ras Muhamad ft. Conrad - Satu Rasa
Kolaborasi dua reggaeman Indonesia favorit saya. Lirik lagu ini menggabungkan enam bahasa, yaitu Inggris, Jamaican Patois, Indonesia, Flores (Maumere-Larantuka), Maluku & Jawa.
"Ale rasa beta rasa, mari katong manyanyi. Dengar tifa su babunyi, jangan tinggal basambunyi. Keluar rame-rame tong badonci"
12. Runtown ft. Wizkid & Walshy Fire - Bend Down Pause
Saya kasih satu tembang dancehall ah. Lumayan buat goyang-goyangin jempol.
Jempol kaki 😝
13. Sara Lugo ft. Protoje - Really Like You
Produksi Oneness Record. Kolaborasi penyanyi Jerman bersuara renyah maksimal [😝], dengan salah satu jendral Reggae Revival Jamaika.
Kalau saya sih WAJIB masukkin ke playlist.
Kamu???
14. Shaggy ft. Ne-Yo - You Girl
Reggae meet RnB, MEMANG seenak ini 😁
15. The Skints ft. Tippa Irie & Horseman - This Town
Selalu suka tiap kali dengar lagu-lagunya The Skints. Terutama musiknya yang 'aneh bin ajaib'. Sebagai pendengar setia reggae, sungguh menyenangkan sekali mendengar yang fresh-fresh seperti itu.
16. Tony Q Rastafara ft. Candil - Lidah Kampung
Salah satu lagu dalam album "Menjemput Mimpi", dimana Tony Q berkolaborasi dengan beberapa rocker Indonesia. Selain "Nurani Bicara" (Tony Q ft. Vicky Burgerkill), lagu "Lidah Kampung" ini juga favorit saya di album itu. Selalu lapar tiap kali mendengarnya. eh. ha-ha-ha
"Ikan asin, sayur asam, tahu tempe, sambal terasi, nasi putih selalu setia menemani, penuhi rasa laparku. Walau makan sederhana tetap nikmat terasa. Lidah bergoyang-goyang, keringat jatuh bercucuran.
Sudah aku coba bermacam-macam makanan dari timur ke barat, kau masih saja membuatku tidak merasa bosan.
Lidah ku masih lidah kampung"
17. Gentleman ft. Aloe Blacc - Imperfection
Kolaborasi Jerman - AS yang pas untuk menutup rekomendasi ini.
"Cause we're only human-with imperfection. Cause there is a time and place for everything"
⏪⏩
Oke itu saja rekomendasi reggae-nya. Kalau pikiran mu belum segar juga karena hanya sedikit lagu-lagu reggae itu, cobalah cari sendiri di yutup. Atau tunggu rekomendasi reggae kaka Chivo jilid berikutnya. Kira-kira satu abad kemudian.