Kopi dan gelombangnya.
Mungkin bagi sebagian orang menjadi sesuatu yang terdengar asing. Begitupun saya pada awalnya. Tahu kopi hanya sekedar "seduh & seruput", tidak dengan tetek bengek lainnya.
Namun, seiring mulai seringnya saya mengunjungi kedai kopi dan mulai 'sok-sokan' menjauhi kopi instant, saya 'terpaksa' mencari-cari artikel tentang kopi, agar tidak kagok ketika ngobrol dengan barista atau teman ngopi yang cantik di samping meja.
Secara garis besar, [saat ini] ada tiga 'gelombang' dalam dunia per-kopi-an. Seperti yang saya baca di Majalah Otten Coffee, 'gelombang pertama' diawali pada tahun 1800-an. Pada 'gelombang' ini yang dikedepankan adalah kepraktisan dan kemudahan demi konsumsi kopi yang sebanyak-banyaknya. Harga terjangkau dan mudah disajikan, namun kualitas rasa yang bisa dikatakan buruk.
'Gelombang kedua' lahir karena 'kopi buruk' tersebut. Peminum kopi di era ini menginginkan kopi yang nikmat dan mau mengetahui asal-usul dari kopi yang mereka minum. Kopi bukan hanya minuman, tetapi sebuah proses. Namun hal itu menjadikan ritual minum kopi berubah menjadi gaya hidup, seiring munculnya bisnis kedai kopi dan cafe di kota-kota besar.
Sementara 'gelombang ketiga' (third wave coffee)--yang muncul sekitar tahun 2002--ditandai dengan mulai tertariknya para peminum kopi terhadap kopi itu sendiri. Mulai dari asal bijinya, prosesnya hingga saat kopi disajikan.
* * *
"Kedai Kopi dan Rumah Sangrai Tanpa Gelombang".
Tulisan di depan kaca kedai kopi yang berlokasi di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan itu, menjadi slogan bagi Wisang Kopi. Namun itu tidak lantas membuat mereka mengabaikan segala hal tentang kopi yang disajikan. Karena saat saya kesini, si pemilik sekaligus tukang seduh, tetap menjelaskan asal biji kopi yang saya pesan, proses pengolahan bijinya, juga profil roasting-annya, dan lalu menanyakan rasa kopinya setelah saya minum.
Untuk alat seduh, Wisang Kopi adalah salah satu dari sekian banyak kedai kopi yang hanya mengandalkan manual brewing semata, tanpa mesin espresso dan alat giling kopi mahal. Pun tanpa koneksi internet dan suasana mewah. Wisang Kopi hadir untuk yang benar-benar suka kopi dan menikmati pembuatannya.
Menempati sebuah bangunan kecil dengan bentuk memanjang di sudut sebuah rumah, hanya sekitar 24 meter persegi, kedai kopi ini cukup nyaman untuk sekadar ngobrol santai sambil ngopi.
Biji kopi pilihan yang ditawarkan di sini pun sangat beragam, yang kebetulan di-roasting sendiri oleh mereka.
Wisang Kopi berada di Jl. H. Abdul Majid No. 67, Cipete, Jakarta Selatan. Buka dari Senin hingga Sabtu, dari jam 7 malam sampai 12 malam, dan libur di hari Minggu karena mau turut Ayah ke kota naik delman istimewa.
Seperti kopi Papandayan pesanan saya waktu itu, yang diseduh dengan Kono Filter, 'ngopi tanpa gelombang' pun tetap nikmat apa adanya.
Tabe!
*maafkan kualitas foto-fotonya. Hape saya ini suka hilang kecanggihannya kalau low light. hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar