Hujan tiba-tiba mengguyur, saat kami sampai di salah satu sisi Bandung ini.
Setelah sekian lama berkendara-keliling dengan sepeda motor pinjaman-demi mencari tempat yang kata teman saya; berlimpah imajinasi. Seharusnya mudah untuk menemukan tempat ini. Sayang, adik saya yang belum juga hapal jalanan Bandung-padahal sudah setahun di sini-diarahkan oleh saya yang sotoy.
Buru-buru kami masuk ke gedung galeri demi menghindari hujan. Melewati patung kepala ibu-ibu yang terbuat dari batu (mungkin. lupa liat keterangannya :D) yang solid dan cukup besar ukurannya.
Dua orang gadis cantik lalu menyapa. Mengira kami mau menonton film yang akan diputar di lantai atas oleh sebuah komunitas di Bandung.
Setelah memastikan kalau patung-patung yang dipajang itu bisa difoto, baru kami mulai berkeliling tempat ini.
Tampak di beberapa sisi gedung, ada segelintir pekerja yang sedang melakukan renovasi.
NuArt Sculpture Park ini bisa dibilang museum pribadi, tempat menyimpan buah karya dari Nyoman Nuarta. Seorang seniman, pematung yang berasal dari Tabanan, Bali, namun kini berdomisili di Bandung.
'Museum' yang berdiri di atas lahan seluas 3,6 hektar ini, terlihat cukup modern dengan pencahayaan yang sangat bagus. Ada tiga lantai, yang semuanya dipenuhi puluhan karya patung tembaga, yang tertata dengan apik dan estetis. Sebagian patung juga tersebar di sekeliling halaman 'museum' ini.
Ada satu keunikan dari bangunan gedungnya, dimana dinding bagian bawahnya menggunakan batu, sementara sebagian atasnya berdinding kaca.
Saya yang menyukai karya seni-juga punya bakat seni, walau seuprit. hehehe-memang sudah excited sejak merencanakan untuk mengunjungi tempat ini.
Lantai bawah, walau hanya sedikit patung yang dipajang, tapi tetap berhasil membuat saya berdecak kagum. Manggut-manggut sotoy di depan setiap patung yang terpajang.
"Kok bisa ya. Detail sekali pengerjaannya", ujar adik saya dalam bahasa daerah, dengan ekspresi kagum yang sama seperti kakaknya yang tampan ini.
Patung Rush Hour II, dalam bentuk seorang pengendara yang mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi, sepertinya menggambarkan kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar yang penuh dengan ketergesa-gesaan. Hanya fokus ke depan, tak lagi memperdulikan lingkungan disekitarnya. Mengayuh cepat meninggalkan yang lain atau woles-woles happy walau nanti akan ditertawakan orang lain yang berhasil menyalip.
Yah, walaupun mungkin artinya bukan seperti itu juga. Mungkin saja patung itu menggambarkan Jackie Chan atau Chris Tucker yang sedang mengejar anggota Triads di jalanan Los Angeles. Siapa tahu. Bisa saja kan. Saya hanya menerka-nerka sendiri, karena tidak ada pemandu yang menemani.
Tapi, toh sebuah karya seni selalu 'membebaskan' penikmatnya untuk berinterpretasi, mengikuti imajinasi mereka masing-masing. Begitu kata guru seni saya dulu.
Rush Hour II 1992 Copper & Brass 350 x 50 x 150 cm |
Tak jauh dari Rush Hour II, tepat di depan gerbang gedung, Patung Devi Zolim berdiri gagah 'menyambut' setiap pengunjung yang datang.
Dengan membawa timbangan di tangan kiri dan tongkat sabit Grim Reaper di kanan, sang dewi berdiri dengan pongah di atas tubuh seorang gadis yang mengerang kesakitan, dengan belenggu di kedua tangan dan kakinya.
Keadilan yang menyakitkan. Menyakiti atas nama keadilan.
Itulah gambaran yang saya dapatkan (walau hanya dibolak-balik kata-katanya :p). Kita semua mungkin sudah kenyang akan hal itu, karena setiap hari selalu ditampilkan di televisi. Sebuah pesan satir nan menohok dari Nyoman Nuarta.
Devi Zolim 2015 Copper & Brass 240 x 150 x 230 cm |
Patung Durjana pun tak kalah filosofis.
Berbentuk seorang lelaki yang seolah sedang membelah diri (tapi bukan mau berkembangbiak layaknya amoeba :p). Bagian kiri laki-laki itu tampak penis yang ditutup daun sirih (karena terlalu besar untuk dibilang daun kelor, dan kekecilan untuk ukuran daun keladi), sambil memegang pisau dibelakangnya. Sementara di sisi kanan, tangan lelaki itu direnggangkan dengan seekor burung duduk manis diatasnya.
Silahkan diartikan sendiri, agar saya tidak makin sotoy.
Durjana 2008 Copper & Brass 240 x 85 x 280 cm |
Di sisi paling kiri lantai bawah, di dindingnya tergantung dua lukisan dengan ukuran yang cukup besar. Potret si empunya 'museum' dan lukisan tentang proses pembuatan patung Garuda Wisnu Kencana. Saya lupa mencatat nama si pelukisnya, tapi sangat takjub ketika tahu kalau kedua lukisan itu adalah kumpulan titik-titik yang entah berapa jumlahnya.
Saya cuma bisa bergumam, "Niat amat ya bikin ginian".
Di samping, adik saya hampir menempelkan mukanya ke lukisan itu demi melihat lebih dekat setiap detailnya.
Menurut info dari wikipedia, Nyoman Nuarta, si pemilik 'museum', adalah salah satu sosok pematung terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia. Ia mendapatkan gelar sarjana seni rupanya dari Institut Teknologi Bandung.
Sudah ratusan karya patung yang telah dia hasilkan hingga kini. Beberapa masterpiece-nya antara lain Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta), Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), Patung Arjuna Wijaya atau biasa disebut dengan Patung Kuda; yang tanggal 4 November kemarin dipenuhi masa aksi damai itu (persimpangan Jl. M.H. Thamrin - Jl. Medan Merdeka, Jakarta), dan Patung Garuda Wisnu Kencana (Bali) yang sedang dalam proses pengerjaan sampai sekarang.
Dan demi menyimpan karya-karyanya itulah NuArt Sculpture Park ini didirikan sejak tahun 2000 silam.
Di lantai dua, ada satu sisi yang dikhususkan sebagai tempat pameran karya-karya seni milik seniman lain. Patung-patung karya sang maestro, terpajang di sisi yang lain, dengan jumlah yang lebih banyak. Di lantai tiga pun tak kalah banyaknya.
lukisan karya seniman lain. *abaikan lelaki menggemaskan berbaju merah itu! |
kiri (dari atas): La Madame (1993); Dignity (2015); December Wind I (1993). kanan: Dreams of Garuda (2015) |
Miniatur patung Garuda Wisnu Kencana yang terpajang, memberi 'janji' akan megahnya patung aslinya, yang proyek pembangunannya kembali dilanjutkan setelah mangkrak belasan tahun lamanya. Patung yang berada di Nusa Dua Bali itu bisa menjadi patung terbesar sedunia, dengan tinggi 120 meter dan lebar 65 meter.
Patung yang akan selalu mengingatkan pada rakyat Indonesia atas asal-muasal lambang negara; Garuda Pancasila.
"Nightmare" dan "Condemned" mewakili cerita pilu bangsa di masa lalu.
Derita para korban kerusuhan Mei 1998 digambarkan dengan patung perempuan terlentang yang seolah tak berdaya untuk bangun dari tidurnya. Lilitan hitam yang mencengkeram sekujur tubuh begitu kuat menahan perempuan itu.
Sementara patung seorang lelaki yang duduk di atas kursi sambil menundukkan kepala, dengan tiga kursi kosong di kiri kanannya, merujuk pada kasus politik empat orang pidana mati yang cukup menghebohkan pada tahun 1988 lalu. *hasil googling
Condemned 1988 Steel Wire 255 x 78 x 108 cm |
Benar kata teman saya.
NuArt Sculpture Park ini tak bisa dinikmati sambil lalu. Saat berada di depan setiap patung, rasa kagum selalu muncul beriringan dengan segala bentuk tafsir akan karya tersebut. 'Dipaksa' masuk ke dalam cerita dan imajinasi sang maestro, yang diwakili oleh masing-masing patung.
Nong Gupi mau jadi gembala seperti Tasya ketika libur telah tiba :D |
Suasana sekitar 'museum' yang begitu asri, sejuk dan tenang, menjadikannya tempat yang pas juga nyaman untuk 'melarikan diri' dari hiruk pikuk kota.
Bagi yang suka ngopi, di sini pun tersedia kedai kopi kecil untuk sekedar berleha-leha.
Tabe!
PS:
> Alamat NuArt Sculpture Park: Jl. Setraduta Raya No. L6, Bandung.
> Terakhir saya kesana (awal Agustus) masuknya gratis, tapi beberapa minggu lalu di satu acara tivi, sepertinya sudah ada biaya tiket masuk.
> Telp. 022-2020414, 2017812.
> Email: info@nuartsculpturepark.com.
> Web: www.nuartsculpturepark.com.
> Peta lokasi NuArt Sculpture Park (kalau masih bingung juga, tanya saja letak Perumahan Setraduta pas sudah di Pasteur :D):
mantap bro
BalasHapus