Tepat pukul 22.00, Bus Primajasa Eksekutif yang saya tumpangi mulai beranjak dari parkiran Terminal Kampung Rambutan, untuk menuju ke Tasikmalaya.
Bis ekonomi yang ditunggu-tunggu, tak jua menampakkan bemper manisnya. Sementara waktu terus berjalan. Semakin malam. Tulisan "Awas Hipnotis" yang ditempel di tiang ruang tunggu terminal, juga sedikit membuat was-was kalau terlalu berlama-lama lagi. Saya belum siap membeberkan rahasia percintaan saya dengan Siti Marpuah, seperti orang-orang yang ada di acaranya Uya Kuya itu.
Alhasil, naik eksekutif pun tak apalah, walau harus menambah beberapa lembar 'Sultan Mahmud Badaruddin II' dan selembar 'Tuanku Imam Bonjol' lagi. Sesekali gaya-gayaan dikit. Merasakan kursi yang empuk dan nyaman, menikmati AC yang dingin, juga menghindarkan diri dari suara-suara sumbang artis jalanan.
Ini adalah kali kedua saya ke Tasikmalaya, demi menyambangi Kawah Galunggung. Sebelumnya saya berangkat dari Bandung, seusai 'menunaikan' tugas kantor. Berniat untuk wisata colongan. Sayang, perkiraan saya salah. Bandung - Tasikmalaya ternyata tak selebar daun kelor. Harus menempuh empat jam perjalanan lagi lamanya.
Jadinya hanya numpang ke toilet saja di Terminal Indihiang, lalu siap-siap berganti bis yang ke arah Jakarta. Sudah setengah lima sore. Tidak ada lagi angkutan yang menuju ke kaki Galunggung.
Momen perayaan kemerdekaan Indonesia mungkin hari yang pas untuk menuntaskan perjalanan itu. Sepertinya keren merayakan 'ulang tahun' negara ini di atas kawah gunung, sama kerennya saat merayakan Natal tahun 2008 lalu di puncak Gunung Gede. Atau mungkin saya sok keren saja?. Ah sudahlah.
Tol Cipularang yang sangat lengang, membuat perjalanan di malam yang sesunyi ini menjadi lebih cepat dari waktu tempuh yang seharusnya (di siang hari, dengan 'bumbu' kemacetan). Walau saya tidak merasakan ke-lancarjaya-an perjalanannya, karena terlelap oleh buaian suara lembut sinden yang menyanyikan tembang-tembang Sunda yang diputar abang tukang setir (baca: sopir).
Sampai di Terminal Indihiang (Tasikmalaya) pukul 02.15. Lebih cepat dua jam. Suasana sekitar masih sangat sepi sekali. Yang ada hanya segelintir laki-laki separuh baya yang seliweran menawarkan jasa ojek dan pijit plus-plus. Tentu saya tolak. Waktunya belum pas. Saya kan mau melihat Kawah Galunggung, bukan ingin dipijat Mak Lampir di atas sana.
Warung padang yang buka 24 jam akhirnya menyelamatkan saya dari dinginnya udara dan ketiadaan teman mojok. Lumayan untuk meregangkan otot sambil mengunyah sepiring nasi ayam gulai.
Hampir satu setengah jam di warung ini, setelah otot-otot sudah tidak kaku lagi, saya baru mulai melangkahkan kaki ke arah pasar tradisional di samping Terminal Indihiang. Dari info yang saya dapatkan, disitulah tempat ngetem-nya angkutan umum menuju Galunggung.
Namun belum ada satupun yang terlihat, karena angkutan umum tersebut memang baru mulai beroperasi sekitar pukul tujuh pagi. Begitu kata tukang ojek yang saya ajak ngobrol. Obrolan yang berujung penawaran jasa. Jasa ojek tentunya, bukan pijit plus-plus.
Tawar menawar harga yang cukup alot antara kami berdua. Tukang ojek yang bertampang bak mandor kompeni-dengan kumis tebal dan boot hampir setinggi lutut-ini mematok harga 60 ribu. Dengan dalih jarak yang jauh, dan iming-iming segarnya mandi air panas saat udara masih dingin.
Sementara saya, dengan lagak bak enci-enci berlegging macan, menawar 25 ribu saja. Dengan alasan waktu kesini bulan lalu, bayarannya sebesar itu. Iya, saya memang pernah kesini. Dalam mimpi :p
Setelah tarik ulur terus menerus, sambil diselingi berbagai obrolan yang agak random, akhirnya tercapai kesepakatan harga sebesar 30 ribu. Lega rasanya, karena sudah ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Berhubung sejak 15 menit sebelumnya ada satu orang lain yang ikut nimbrung bersama kami berdua. Mukanya seperti pembunuh berdarah dingin. Sialnya, tiba-tiba dia menawarkan saya untuk ke rumahnya, nanti agak siangan baru diantar pakai motor sama temannya. Ih, memangnya saya laki-laki apaan, mau dioper-oper.
"Saya mah tadi mau biar cepat aja. Daripada kamu sendirian di sana. Itu orang ga jelas tuh. Entar kamu dibawa-bawa kemana gitu, trus ditinggalin", begitu kata si tukang ojek saat sudah jalan.
Benar juga. Bisa-bisa niat mau lihat Kawah Galunggung, malah berakhir di dalam koper yang terapung-apung di kali terdekat, terus masuk headline koran Lampu Hijau. *amit-amit*
Perjalanan yang cukup menyeramkan. Keadaan masih sangat gelap. Minim bahkan nihil penerangan jalan. Belum ada satupun warga sekitar yang lalulalang. Hanya ada saya, abang ojek dan raungan motor Supra miliknya.
Orang-orangan sawah dan boneka-boneka aneh yang bertebaran di sepanjang jalan, di depan rumah penduduk, menambah kesan seramnya. Ditambah udara dingin yang menusuk hingga tulang lutut saya yang kopong.
Bayang-bayang kisah film Silent Hill muncul di kepala.
Tiba-tiba kabut turun, lalu bayangan sosok anak kecil melintas di tengah jalan, kemudian muncul Pyramid Head, Dark Nurse, Grey Children, Creeper, juga Armless Man. Monster-monster berwujud aneh, penuh darah, yang siap mengeksekusi siapapun yang dijumpainya.
Ah, sepertinya saya harus mengurangi tontonan bergenre horor.
Agak lega setelah si tukang ojek membelokkan motornya ke arah "Kawasan Wisata Galunggung", sesuai dengan yang tertera di papan/rambu penunjuk jalan. Walau tetap seram, bahkan lebih, karena semakin ke atas semakin sedikit rumah penduduk, tapi setidaknya saya dibawa ke arah yang tepat sesuai tujuan, bukan menuju ke gorong-gorong terdekat dan lalu berakhir di dalam koper yang terapung di kali.
Sampai di gerbang, dan ditinggalkan dalam kebingungan-kesendirian-kegelapan sama si tukang ojek, saya melangkahkan kaki menuju warung di samping gerbang yang sepertinya baru buka. Selonjoran di bangku, tidak tahu harus kemana.
Suasana masih sangat gelap. Dingin pun makin menjadi. Saat-saat seperti ini, seharusnya ada Chelsea Islan yang menemani. Ah sudahlah. Setidaknya dengan datang pagi-pagi buta begini, saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya tiket. Satu hal 'positif' yang sangat ditunggu oleh setiap cheap bastard seperti saya.
"Kalau mau ke kawah, naik dari situ. Kira-kira 4 kilometer lagi. Bisa naik ojek sampai ke atas". Kira-kira begitu terjemahan bebas saya dari jawaban ibu pemilik warung yang pakai bahasa Sunda.
TENTU saya pilih jalan kaki ke atas. Lumayan buat membesarkan betis mungil saya.
Berbekal senter dari hape Nokia, saya lalu menerobos kegelapan malam. Demi segera menyambangi Kawah Galunggung. Walau sudah beraspal, tapi jalannya yang menanjak tetap membuat kaki pegal dan ngos-ngosan. Apalagi udara yang dingin ternyata justru menambah tingkat ngos-ngosannya. Mau istirahat, tapi takut. Sendirian, dikelilingi pohon-pohon besar, dalam kegelapan malam. Kan sangat tidak lucu, lolos dari 'pembunuh berdarah dingin', tapi malah diculik Mak Lampir.
Setelah setengah perjalanan, baru mulai sedikit terang, dan mulai terdengar suara burung yang bersahut-sahutan. Mungkin burung Kutilang yang sedang bernyanyi di pucuk pohon cemara.
Alarm dari hape Nokia yang berbunyi, menandakan waktu sudah tepat pukul 06.00, tepat saat kaki saya menginjak anak tangga yang ke 620, anak tangga terakhir di puncak Gunung Galunggung.
Pemandangan yang sangat tidak enak saat mulai menaiki anak-anak tangga itu. Dari awal sampai yang terakhir, bertebaran coretan-coretan tidak jelas dari manusia-manusia kampret yang tidak bertanggungjawab. Di anak tangga dan pagar besi tercetak berbagai macam nama, tulisan seperti "Anita © Arif" atau "Azis sayang Diana", bahkan ada yang menuliskan nomor hape-nya. Entah apa maksudnya. Mungkin mereka mengira ini adalah "Stairs of Fame". Atau jangan-jangan vandalisme adalah salah satu kultur dari masyarakat Indonesia.
Ah sudahlah, dulu saya pun seperti itu. Nama saya banyak tersebar di kursi penumpang Kopaja P20 yang sering saya naiki saat kuliah. Tapi semoga mereka pun menyadari ke-kampret-an tindakan mereka itu, sama halnya seperti saya.
nongol aje si Gupi |
'Singa' yang Sedang Tidur*
Gunung Galunggung merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 2.167 mdpl, terletak sekitar 17 KM dari pusat kota Tasikmalaya, tepatnya di Desa Linggajati, Kec. Sukaratu.
Tercatat pernah meletus pada tahun 1822, 1894, 1918, dan letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 Mei 1982 yang berlangsung selama 9 bulan sampai 8 Januari 1983, dengan disertai suara dentuman, pijaran api dan kilatan halilintar. Letusannya juga menyebabkan British Airways Penerbangan 9 terpaksa mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma, setelah keempat mesinnya mati total.
Magma yang meleleh pun cukup dahsyat. Lebih dari 30 desa yang berada di kaki Gunung Galunggung hancur porakporanda.
Awal tahun 2012, tepatnya Januari hingga April, gunung ini sedikit bergeliat. Air kawah berubah warna dari hijau menjadi kecoklatan, dan suhu udara kawah mencapai 40 derajat celcius, sehingga status Galunggung dinaikkan dari Aktif Normal menjadi Waspada. Namun pertengahan Mei 2012, kembali 'tertidur' lagi.
Gunung Galunggung merupakan gunung tipe A. Artinya selama 1600 tahun, paling sedikit satu kali melakukan aktivitas, dan dimungkinkan akan kembali melakukan aktivitasnya.
Dengan status aktif normalnya kini, Gunung Galunggung terbilang aman untuk dikunjungi. Pengunjung pun tidak perlu susah payah mendaki, karena sudah ada jalan beraspal yang bisa dilalui kendaraan, hingga 315 M sebelum puncak, yang lalu dilanjutkan dengan 620 anak tangga sampai puncaknya, dan jalanan setapak menuju danau kawah.
Namun tetap disarankan agar tidak mengunjungi danau kawah di saat kondisi hujan dan cuaca buruk, karena gas beracun biasanya akan keluar di saat seperti itu.
Dari Kawah Galunggung, Kuucap Dirgahayu Indonesia**
Matahari mulai menampakkan binar-binar cahayanya, seakan enggan membiarkan kabut berlama-lama menyelimuti kawah Galunggung ini. Danau berair hijau pun sudah terlihat di bawah sana. Dipinggirnya tampak warna-warni kemah para 'pemburu' keindahan panorama gunung.
Beberapa orang berjejer disekitar pinggir kawah, sambil menjulurkan tongkat narsisnya masing-masing, demi mengabadikan dirinya sendiri. Saya pun seolah tak mau kalah. Tongsis yang baru saya beli dua minggu sebelumnya, akhirnya perdana kugunakan hari ini. Sama layaknya yang lain, hanya untuk predikat EKSIS di dunia maya. Agar tidak muncul kata "No Pic Hoax".
Deretan warung-warung tampak terisi oleh mereka yang sedang sarapan. Seporsi mie rebus dan segelas kopi panas penghangat tubuh.
Saya lalu mulai melangkahkan kaki menuju ke kawah, mengikuti jalan berpasir hitam, yang ditunjuk seorang wanita yang saya tanya. "Malu bertanya pada wanita cantik, sesat di jalan". Begitu kan bunyi pepatahnya.
Saat hampir di ujung jalan-setelah melewati 2 laki-laki muda yang saling mendekatkan wajah untuk ber-selfie-ada turunan cukup curam yang sepertinya hanya muat satu orang dewasa. Jalanan menurun dan berpasir yang membuat saya beberapa kali terpeleset, karena sepatu yang saya pakai bukan sepatu khusus trekking di gunung, tapi untuk jalan-jalan di mall terdekat. Kode berat buat tuyul di rumah untuk mengambil uang yang banyak, agar bisa segera terbeli sepatu gunung atau apalah itu sebutannya.
Warna hijau pada danau kawah semakin tampak, dan terlihat bersinar terkena pancaran matahari yang sedikit demi sedikit mulai menampakkan diri. Bau belerang pun samar-samar mulai tercium oleh hidung. Wangi dedaunan di pagi hari seperti ini, begitu menyegarkan dan menenangkan jiwa. Sesuatu yang tidak mungkin didapatkan di Jakarta.
Dinding kawah yang curam dan tinggi, diselimuti pohon-pohon hijau, terlihat tegas mengelilingi kawah Galunggung.
Puluhan orang lalu lalang di sekitar danau. Dan nun di tengah sana, di atas sebuah bukit kecil, berdiri tiang yang tak seberapa tinggi dengan bendera merah putih berkibar dengan anggun diujungnya. Bendera kebanggaan. Lambang kemenangan dari perjuangan anak-anak bangsa.
Genap 70 tahun sudah usia negeriku tercinta ini. Negara yang menjadi 'wadah' bagi beragam agama, etnis dan budaya untuk saling berinteraksi. Negara yang memiliki ratusan pulau, bahasa dan kultur, yang lalu disatukan oleh tiga kata dari Kitab Sutasoma milik Mpu Tantular; "Bhinneka Tunggal Ika", menjadi Nusantara.
Negara yang juga penuh ironi.
Memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tapi rakyatnya berada dalam indeks garis kemiskinan. Memiliki tanah yang begitu subur, tapi beras, kedelai dan buah-buahan diimpor dari negara lain. Memiliki laut yang luas, tapi tetap mengimpor garam, yang lalu 'dimakan' mafia garam.
'Ulang tahun' yang sayangnya harus dirayakan dengan keterpurukan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, bencana kekeringan di banyak propinsi akibat badai El Nino, penegakan hukum yang masih tetap acak-adut seperti sebelum-sebelumnya, hubungan antar-lembaga yang tidak sinergis, juga rivalitas antar-institusi yang makin gamblang dipertontonkan ke publik.
Sangat menohok hati memang kalau memikirkannya. Walau tetap tak bisa mengurangi kecintaan saya akan 'jamrud khatulistiwa' yang indah ini.
Sayup-sayup terdengar lagu Indonesia Raya berkumandang. Semua orang berdiri dan melakukan sikap hormat kepada Sang Merah Putih yang sedang dikibarkan. Hormat untuk negeri tercinta.
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA !!
abaikan ekspresi gak jelas itu |
Dirgahayu NKRI |
dari belakang gini baru terpancar ketampanannya |
Mampir ka Garut
Sebenarnya perjalanan ke Garut ini rencananya ke dua tempat, yaitu Gunung Papandayan dan Toko Ek Bouw Jaya di kota Garut. Tapi karena waktu yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk ke gunung itu, jadinya hanya ke tujuan kedua saja.
Ada something spesial dari toko kelontong ini yang membuat saya terpaksa harus panas-panasan selama dua jam di atas elf dari Tasikmalaya. Demi Kopi Ek Bouw, jawara lokal sejak tahun 1900 di kota yang samar sekali dengan kopi ini.
Kopi di toko ini sudah turun temurun menjadi langganan orang-orang Garut. Terbukti saat mencari tokonya, setiap kali bertanya, semua orang tahu dimana letaknya. Lokasinya begitu strategis, tepat di dekat Pengkolan, pertigaan paling ramai di Garut.
"Biasanya yang beli kopi di sini kebanyakan orang-orang tua", kata cici pemilik toko sambil tersenyum, saat saya membayar di meja kasir. Saya pun hanya membalas senyumannya, sambil berharap dia jatuh cinta.
Kopi yang dijual di sini tidak banyak. Hanya ada di beberapa tong-tong kopi, yang berjejer di atas meja, di salah satu sudut toko kelontong ini.
Akan sedikit membingungkan saat mau membeli, karena kopi-kopi di sini tidak ditulis sesuai dengan jenisnya, tapi dinamakan lain seperti Ekonomi, Klasik, Spesial, Istimewa, Top dan Super. Hanya satu yang benar-benar diberi nama Robusta (sesuai jenisnya). Dan karena penjaganya juga tidak tahu jenis kopi dari masing-masing varian itu, akhirnya saya beli yang Spesial dan Robusta saja.
Setelah saya coba yang Spesial, rasa pahitnya pekat sekali, dengan sedikit rasa asam. Pas buat penyuka kopi hitam tanpa gula seperti saya ini.
Mas Brandon |
Karena waktu yang masih cukup banyak, saya pun menyempatkan untuk sedikit meng-explore kota ini, di sekitaran Pengkolan. Berikut beberapa 'hal' yang saya dapatkan :
1. Chocodot
Dodol adalah salah satu ikon kuliner Garut yang sangat familiar. Nah, Chocodot ini hasil inovasi kreatif yang memanfaatkan si dodol tadi. Singkatan dari Chocolate with Dodol Garut. Cokelat berisi dodol Garut.
Chocodot memiliki campuran rasa yang beda sendiri. Perpaduan antara tekstur dodol yang kenyal dan juga rasa cokelat yang manis. Varian Chocodot-nya hanya sedikit. Di sini lebih didominasi oleh varian coklat (tanpa dodol) lain, baik coklat hitam, coklat susu dan coklat putih, dengan bermacam-macam rasa didalamnya. Namanya pun unik-unik, seperti Coklat Anti Galau, Coklat Enteng Jodoh, Coklat Tolak Miskin, dll.
Alamat gerai Chocodot : Gedoeng Coklat, Jl. Siliwangi No. 6 (telp. 0262-231206).
2. Awug
Ini adalah makanan/jajanan khas Jawa Barat. Teksturnya mirip panganan ringan di kampung saya, yaitu Ohi Ai Pungan. Bedanya Ohi Ai Pungan itu terbuat dari singkong/ubi kayu (ohi ai), sementara Awug ini terbuat dari bahan tepung beras, gula aren dan kelapa parut. Sama seperti Kue Putu.
Awug biasanya dijajakan oleh para pedagang kaki lima. Saya beli di 'pasar kaget' Jl. Siliwangi.
3. Mie Baso + Es Goyobod Si Peu'eut
Tempatnya ada di deretan ruko-ruko Jl. Siliwangi.
Kuah dari mie baso-nya sangat gurih, bahkan tanpa harus ditambahkan apa-apa lagi juga tetap enak. Kekenyalan baksonya pas, walau rasanya tidak spesial. Sama saja seperti di tempat lain.
Sementara mie-nya agak lembek. Atau mungkin penyajian mie baso memang harus seperti itu, i don't know lah, baru pertama kali ini mencobanya.
Kalau Es Goyobod itu sebenarnya es campur, cuma dikasih tambahan Goyobod, yang terbuat dari tepung kanji. Teksturnya mirip agar-agar, cuma lebih lembek.
Sebenarnya ada juga deretan toko dengan etalase yang penuh dengan pajangan jaket, tas dan sepatu kulit asli Garut, yang sangat menggoda iman. Hanya sayang, budget-nya tidak mendukung untuk memasukkan barang-barang itu ke dalam tas ransel saya.
Dan seiring 'nafsu syahwat' isi perut saya sudah terpuaskan, saatnya meninggalkan kota ini dengan senyum simpul.
Tabe!
*Dari berbagai sumber
** Perjalanan ini dilakukan tanggal 17 Agustus 2015 lalu
tarif per Agustus 2015 |