Pagi yang cerah di Stasiun Lempuyangan, saat KA Progo yang saya tumpangi sampai dengan manisnya. Berbeda dengan semalam, ketika deru bajaj dan deras hujan mengantarkan kepergian saya dari hiruk pikuk Jakarta, menuju Kota Jogja yang katanya istimewa ini.
Stasiun Lempuyangan |
Suasana pagi yang sedikit berbeda. Tidak ada suara bising bajaj, tidak ada kata elo gue dan sejenisnya, juga tidak ada suara fals teman kosan yang bikin mual.
Yapz, akhirnya rencana backpacking ini 'tereksekusi' juga. Karena ini pertama kalinya saya melakukan 'jalan-jalan kere', jadi setelah memilah-milah, akhirnya terpilihlah kota ini. Alasannya simple : udah pernah kesini, jadi lebih gampang.
Memutuskan untuk jalan kaki dari stasiun ke Malioboro, menjadi keputusan yang sangat tepat sekali. Selain karena tidak terlalu jauh (setelah saya terawang), suasana pagi yang masih adem, sepi kendaraan, sepertinya akan sangat disayangkan kalau dilalui begitu saja menggunakan kendaraan (selain alasan biar irit).
Suasana pagi di prapatan jl. ahmad yani |
Satu keunikan yang saya dapat saat keluar dari stasiun, banyak tukang becak dan ojek yang menghampiri saya untuk menawarkan jasanya, tapi mereka langsung menyebut ongkosnya yaitu 5 - 10 ribu, tanpa menanyakan terlebih dahulu kemana tujuan saya. Bagaimana kalau saya bilang mau ke Solo, apa tarif itu tetap berlaku?
Sambil menunggu Museum Benteng Vredeburg buka, mengisi kekosongan perut dengan panganan bergizi, walau bukan 4 sehat 5 sempurna, adalah pilihan satu-satunya di pagi hari yang mendadak mendung tiba-tiba ini.
Tidak terlalu lama saya di museum ini, karena tidak banyak juga yang perlu dilihat. Menu utamanya (menurut saya) hanya 2 ruangan diorama yang menggambarkan kisah-kisah perjuangan zaman baheula, plus Monumen Serangan Umum 1 Maret di depannya.
Gerbang Benteng Vredeburg |
Monumen Serangan Umum 1 Maret |
Dari situ saya langsung ke Keraton (jalan kaki). Ini sebenarnya tempat pertama yang ada di list perjalanan saya. Tapi berhubung yang lebih dekat Benteng Vredeburg tadi, ya melenceng dikit ora opo-opo lah.
Karena tempatnya yang luas dan banyak obyek foto yang bagus (walau hasilnya belum tentu bagus), saya sedikit lama di pusat pemerintahan Kesultanan Jogja ini. Tempat yang bagus, budaya yang terpelihara dengan baik, saksi kejayaan zaman lampau yang sepertinya menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Jogja, dan tentunya yang membuat Jogja berpredikat Daerah Istimewa.
Gerbang Utara Keraton (kalo gak salah arah) |
Keluar dari gerbang Keraton, saya menuju ke Taman Sari, dan merelakan untuk membayar becak, padahal tempatnya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan jalan kaki dari situ. Ane kirain jauh pret!
Katanya, Taman Sari itu tempat mandinya Sultan beserta istri-istrinya. Setelah masuk, saya langsung membayangkan berapa sih istrinya Sultan. Kolamnya ada tiga dan lumayan luas seperti kolam renang umum yang suka disewakan itu.
Taman Sari |
Ah sudahlah!
Daripada memikirkan hal-hal yang tidak perlu, lebih baik mencari sesuatu yang lezat untuk memanjakan perut tercinta, sambil mencari tempat penginapan, yang MURAH tentunya.
Akhirnya, setelah keluar masuk beberapa hotel dan losmen di daerah Sosrowijayan, saya memutuskan untuk menginap di Indonesia Hotel, yang kebetulan kamar termurahnya lebih murah dibandingkan yang lain. Sebenarnya saya berniat untuk menginap di daerah Prawirotaman, yang berdasarkan informasi adalah 'kampungnya para backpacker', jadi pasti lebih murah, tapi setelah melihat peta, kelihatannya jauh, jadi saya batalkan. Tapi ternyata dekat, setelah saya melewatinya saat mau ke Parangtritis.
Istirahat sejenak di penginapan. Mandi dan berleha-leha di atas kasur (sambil membayangkan kalau ini Hotel Indonesia), melemaskan otot-otot kaki yang kemungkinan sebentar lagi membengkak seperti kaki pemain sepakbola. Maklum pagi tadi cerita perjalanannya bertema all by my foot.
Sebelum ke Candi Prambanan, saya menyempatkan diri sebentar untuk 'mengecek' kondisi lapak di Jl. Pasar Kembang, tanya soal jadwal kereta api ke Solo di Stasiun Tugu, dan menjepret Tugu Jogja di Jl. Kiai Mojo, sebagai pengesahan kunjungan saya ke kota pelajar ini.
Dan dengan Trans Jogja dan sedikit bantuan kaki (ini pun karena hasil penerawangan saya kalau jarak halte terakhir dan lokasi candi dekat), sampailah saya ke tempat berdiamnya Loro Jonggrang itu, yang sebelumnya selalu tidak kesampaian. Benar kata pepatah : tidak kesampaian pasti berlalu.
Daripada memikirkan hal-hal yang tidak perlu, lebih baik mencari sesuatu yang lezat untuk memanjakan perut tercinta, sambil mencari tempat penginapan, yang MURAH tentunya.
Bertanyalah pada peta spt Dora |
Istirahat sejenak di penginapan. Mandi dan berleha-leha di atas kasur (sambil membayangkan kalau ini Hotel Indonesia), melemaskan otot-otot kaki yang kemungkinan sebentar lagi membengkak seperti kaki pemain sepakbola. Maklum pagi tadi cerita perjalanannya bertema all by my foot.
Sebelum ke Candi Prambanan, saya menyempatkan diri sebentar untuk 'mengecek' kondisi lapak di Jl. Pasar Kembang, tanya soal jadwal kereta api ke Solo di Stasiun Tugu, dan menjepret Tugu Jogja di Jl. Kiai Mojo, sebagai pengesahan kunjungan saya ke kota pelajar ini.
Tugu Jogja |
Saat melihat karya ciamik nenek moyang orang Jogja ini (entah pelaut apa bukan), saya hanya berdecak kagum dan sempat bilang WOW!, meski tidak pakai koprol. Kalau kata Tukul Arwana mah ini luar biasa, amazing, incredible, extra ordinary, eaa eaa eaa!
Saking eaa-nya, saya sampai tidak tahu angle mana yang bagus untuk menghasilkan sebuah foto abal-abal.
Sayang, rencana saya untuk ke Candi Ratu Boko tidak kesampaian, berhubung tiket terusan kesana sudah ditutup, malas pakai ojek, dan karena mendung yang menggelayut pekat di langit, membuat saya sebagai sunset hunter menjadi berpikir ulang lagi. Daripada buang waktu dan duit tentunya, tapi sunset-nya ketutup awan hitam, lebih baik ditunda saja. Masih ada hari esok. Toh tidak kesampaian pasti berlalu kan.
Jadi lebih baik pulang, bobo unyu di kamar, biar besok bisa cetar membabibuta. Tapi sebelum itu mamam duyu dech di Malioboro, sambil dengerin musisi jalanan bernyanyi lagu Jogja dari Kla Project.
Kembali di pagi hari yang mendung, Trans Jogja mengantarkan saya ke Jokteng Wetan, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan bis jurusan Jogja - Paris.
Di Parangtritis cuma foto-foto sebentar, karena sudah pernah kesini, jadinya ya gitu deh.
Tujuan utama saya sebenarnya ke Gumuk Pasir, tapi karena perkiraan saya kalau lokasinya di sekitar Pantai Paris itu, jadinya ya gitu deh.
Berhubung bisnya bukan punya bapak saya, dan berhubung disitu adalah TPA (Tempat Pemberhentian Akhir) dari bis itu, maka dengan tanpa pertimbangan lagi saya memutuskan untuk jalan kaki ke lokasi Gumuk Pasir berada. Ternyata jaraknya lumayan jauh, kemungkinan 5 km. Tapi karena sepanjang jalan kenangan ini, saya berlagak seperti fotografer National Geographic, jepret sana, jepret sini, jarak yang jauh itu pun tidak terasa, bahkan pegalnya kaki ku bawa berlari hingga hilang pedih perih.
Sampai di Gumuk Pasir, saya merasa seperti sedang berada di Gurun Sahara atau Gurun Gobi gitu. Bukit pasir yang luas membuat saya berlama-lama disini. Apalagi saya sendirian, jadi sangat puas dengan hasil foto yang saya ambil (walau tetap abal-abal), karena tidak terkontaminasi dengan penampakan manusia - manusia yang entah nenek moyangnya pelaut apa bukan.
Seandainya saat itu saya memakai baju putih terusan seperti seragam wajib anggota FPI, ditambah sorban di kepala dan tongkat kayu, pasti terlihat seperti musafir di Arab sana, yang sedang dehidrasi lagi mencari oase.
Setelah hampir 1,5 jam sendirian panas-panasan disitu, tiba-tiba pasir berbisik lembut, katanya : "Bro, pulang yuk. Kan masih harus ke Museum Perjuangan Yogya dan Museum Taman Siswa."
Sayang, saat sampai, kedua tempat itu sudah tutup, alhasil ane fulang dulu ke hotel, lewat Jembatan Sayidan di Jl. Sultan Agung. Kaki ane benar-benar fegal tak terkira. *mendadak ngarab
Dan saya baru menyadari kalau ternyata jalan kaki dapat menyebabkan kecapaian, kaki pegal-pegal, ketiduran dan gagal ke Borobudur.
Gara-gara itu, rencana ke Solo batal, karena harus tetap ke Borobudur keesokan harinya, pagi-pagi buta biar bisa lihat sunrise.
Namun, niat untuk melihat sunrise di Borobudur dari Punthuk Setumbu atau Puncak Suroloyo tidak terlaksana, karena ketidakbisaan saya untuk bangun pagi.
Akhirnya saya memutuskan untuk ke Kaliurang terlebih dahulu.
Kembali dengan Trans Jogja ke arah Kentungan, kemudian dilanjutkan dengan naik angkot jurusan Jogja - Kaliurang. Berdesak-desakan dengan warga Kaliurang yang baru pulang dari Pasar Pakem, di dalam mobil kecil, menjadi satu keseruan yang luar biasa. Panas-panasan, bau sayuran, logat Jawa yang medokfully, tumpukan barang bawaan di depan komuk. Seru kan?
Namun keputusan ini sempat membuat aing lieur (saya pusing). Hal ini gara-gara setelah saya keliling sebentar di Wisata Hutan Tlogo Muncar, dan mau pulang, ternyata angkot ke Jogja tadi sangat lama sekali datangnya. Dan saya baru tahu dari warga setempat, kalau angkot yang saya naiki tadi memang lama seperti itu, karena mereka (penduduk disitu) sudah lebih sering menggunakan motor sendiri daripada angkot. Saya hanya bengong dan was-was kalau rencana ke Borobudur batal lagi.
Jam 11 (setelah lama menunggu), angkot yang ditunggu pun datang. Tapi itu belum menghilangkan rasa was-was saya, karena jalannya yang selow-selow bekicot, waton-waton asal kelakon. Padahal waktunya sudah mepet dengan jadwal kereta untuk pulang ke Jakarta, kalau dihitung dengan lama perjalanan pulang-pergi Borobudur. Beruntung perjalanan dari Terminal Jombor ke Borobudur tidak macet, sehingga saya bisa sedikit lega.
Sayang rasa lega itu hanya sebentar, karena tidak berapa lama setelah sampai di tingkat paling atas dari candi Budha itu, tiba-tiba cinta datang kepadaku *eh maksudnya tiba-tiba hujan deras mengguyur tanpa sms terlebih dahulu. Sial, padahal baru beberapa jepretan foto yang saya ambil dengan susah payah, karena harus menghindari kerumunan manusia-manusia kacrut yang begitu banyak.
Terpaksa langsung pulang walau hujan-hujanan, karena harus berpacu dengan waktu, agar tidak terlambat sampai ke Stasiun Lempuyangan.
Akhirnya bye-bye Jogja Istimewa, seistimewa sarapan nasi goreng pakai telor ceplok dua.
[17-19.01.2014]
*Disclaimer : Semua foto adalah hasil jepretan ane sendiri. Keliatan dari abal-abalnya sih.
*NOTE:
Saking eaa-nya, saya sampai tidak tahu angle mana yang bagus untuk menghasilkan sebuah foto abal-abal.
Candi Prambanan |
Jadi lebih baik pulang, bobo unyu di kamar, biar besok bisa cetar membabibuta. Tapi sebelum itu mamam duyu dech di Malioboro, sambil dengerin musisi jalanan bernyanyi lagu Jogja dari Kla Project.
Kembali di pagi hari yang mendung, Trans Jogja mengantarkan saya ke Jokteng Wetan, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan bis jurusan Jogja - Paris.
Di Parangtritis cuma foto-foto sebentar, karena sudah pernah kesini, jadinya ya gitu deh.
Pantai Parangtritis |
Berhubung bisnya bukan punya bapak saya, dan berhubung disitu adalah TPA (Tempat Pemberhentian Akhir) dari bis itu, maka dengan tanpa pertimbangan lagi saya memutuskan untuk jalan kaki ke lokasi Gumuk Pasir berada. Ternyata jaraknya lumayan jauh, kemungkinan 5 km. Tapi karena sepanjang jalan kenangan ini, saya berlagak seperti fotografer National Geographic, jepret sana, jepret sini, jarak yang jauh itu pun tidak terasa, bahkan pegalnya kaki ku bawa berlari hingga hilang pedih perih.
Sampai di Gumuk Pasir, saya merasa seperti sedang berada di Gurun Sahara atau Gurun Gobi gitu. Bukit pasir yang luas membuat saya berlama-lama disini. Apalagi saya sendirian, jadi sangat puas dengan hasil foto yang saya ambil (walau tetap abal-abal), karena tidak terkontaminasi dengan penampakan manusia - manusia yang entah nenek moyangnya pelaut apa bukan.
Salah satu sisi dari bukit berpasir di Gumuk Pasir |
Salah satu 'oase' di Gumuk Pasir |
Sayang, saat sampai, kedua tempat itu sudah tutup, alhasil ane fulang dulu ke hotel, lewat Jembatan Sayidan di Jl. Sultan Agung. Kaki ane benar-benar fegal tak terkira. *mendadak ngarab
Dan saya baru menyadari kalau ternyata jalan kaki dapat menyebabkan kecapaian, kaki pegal-pegal, ketiduran dan gagal ke Borobudur.
Gara-gara itu, rencana ke Solo batal, karena harus tetap ke Borobudur keesokan harinya, pagi-pagi buta biar bisa lihat sunrise.
Namun, niat untuk melihat sunrise di Borobudur dari Punthuk Setumbu atau Puncak Suroloyo tidak terlaksana, karena ketidakbisaan saya untuk bangun pagi.
Akhirnya saya memutuskan untuk ke Kaliurang terlebih dahulu.
Kembali dengan Trans Jogja ke arah Kentungan, kemudian dilanjutkan dengan naik angkot jurusan Jogja - Kaliurang. Berdesak-desakan dengan warga Kaliurang yang baru pulang dari Pasar Pakem, di dalam mobil kecil, menjadi satu keseruan yang luar biasa. Panas-panasan, bau sayuran, logat Jawa yang medokfully, tumpukan barang bawaan di depan komuk. Seru kan?
:D |
Jam 11 (setelah lama menunggu), angkot yang ditunggu pun datang. Tapi itu belum menghilangkan rasa was-was saya, karena jalannya yang selow-selow bekicot, waton-waton asal kelakon. Padahal waktunya sudah mepet dengan jadwal kereta untuk pulang ke Jakarta, kalau dihitung dengan lama perjalanan pulang-pergi Borobudur. Beruntung perjalanan dari Terminal Jombor ke Borobudur tidak macet, sehingga saya bisa sedikit lega.
Sayang rasa lega itu hanya sebentar, karena tidak berapa lama setelah sampai di tingkat paling atas dari candi Budha itu, tiba-tiba cinta datang kepadaku *eh maksudnya tiba-tiba hujan deras mengguyur tanpa sms terlebih dahulu. Sial, padahal baru beberapa jepretan foto yang saya ambil dengan susah payah, karena harus menghindari kerumunan manusia-manusia kacrut yang begitu banyak.
Candi Borobudur + manusia2 kacrut |
Akhirnya bye-bye Jogja Istimewa, seistimewa sarapan nasi goreng pakai telor ceplok dua.
[17-19.01.2014]
*Disclaimer : Semua foto adalah hasil jepretan ane sendiri. Keliatan dari abal-abalnya sih.
*NOTE:
- Siapkan recehan yang banyak, karena kata "uang kecil saja" akan selalu terdengar saat membayar dengan 'uang besar'. Daripada ribet nyari tukeran.
- Cari tahu letak arah mata angin yang benar di mbah google, karena itu yang akan ente dengar saat tanya lokasi ke warga setempat.
- Ingat, BANGJO = LAMPU MERAH = LAMPU LALULINTAS. Biar gak bingung.